14 Desember 2008

Anjing Rabies Gigit Lima Warga Gayo

Khalisuddin The Globe Journal
Takengon – Lima warga Takengon secara beruntun digigit anjing pada Sabtu (13/12). Gigitan beruntun dimulai sejak pukul 05.00 WIB di kawasan Pasar Bawah Kampung Baru Kecamatan Lut Tawar yang berjarak sekitar 300 meter dari Pendopo Bupati Aceh Tengah. Seorang korban, Latansari (54) warga kampung Asir-asir Asia melalui anaknya Fadhlan (28) menyatakan kekesalannya terhadap kasus ini. Pihak terkait hampir tidak pernah melakukan upaya pencegahan kasus anjing ini. Mereka hanya urus setelah ada kasus gigitan anjing. Itu pun bila anjing dapat ditangkap dan diserahkan kepada mereka, upaya-upaya pencegahan lainnya tidak pernah dilakukan, papar Fadhlan.
Koordinator Rabies Center 6 kecamatan (Lut Tawar, Kebayakan, Bebesen, Pegasing, Kute Panang dan Bintang) yang berposko di Puskesmas Kota Takengon, Supriati (33) menjelaskan bahwa lima korban digigi oleh anjing yang diduga menderita rabies itu telah disuntik Vaksin Anti Rabies (VAR). Suntikan ini harus dilakukan sebanyak 3 kali secara periodik setiap 7 hari, jelas Supriati.
Kepada masyarakat Supriati menghimbau agar segera mencuci bekas gigitan anjing selama 15 menit pakai sabun dan air mengalir. Perlakuan ini mengurangi 75 % resiko Rabies. Lebih lanjut Supriati memaparkan bahwa di tahun 2007 terjadi 98 kasus rabies dan 95 % positive rabies. Di tahun 2008 ditangani 80-an kasus gigitan. Angka ini belum termasuk kasus di kecamatan lainnya dalam Kabupaten Aceh Tengah, pungkas Supriati.
Secara terpisah, kepada The Globe Journal Kabid Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Kabupaten Aceh Tengah, Drh. Rahmandi mengaku sudah mengirimkan sample otak kecil anjing yang menggigit kelima warga tersebut ke Balai Penelitian Penyakit Veteriner (BPPV) Medan untuk di uji laboratorium apakah anjing tersebut terserang virus rabies atau tidak. Menurut Rahmandi, pihaknya telah melakukan upaya pencegahan dengan vaksinasi massal terhadap anjing masyarakat seperti di Kampung Ponok Balik Kecamatan Ketol beberapa hari lalu. Pada kamis, 18 Desember 2008 kita akan mengadakan Eliminisasi (peracunan) terhadap anjing liar diseputar Pasar Ikan dan Rumah Sakit datu Beru Takengon.
Menurut Rahmandi yang menjadi kendala adalah kurangnya partisifasi masyarakat untuk mengubur anjing yang mati. ”Kita selalu mendapat kecaman pasca eliminisasi karena banyaknya bangkai anjing yang tidak dikubur,” ungkap Rahmandi. Pantauan The Globe Juornal, anjing-anjing tanpa pemilik berkeliaran bebas seputar kota Takengon di kawasan Pasar Ikan, Pasar Inpres dan kawasan RSU Datu Beru. Pada malam hari anjing-anjing ini biasa tidur di Halaman Cool Storage samping BRI Takengon yang hanya 100 meter dari Gedung DPRK Aceh Tengah.[003]

12 Desember 2008

Tidak Transparan Ganti Rugi Jalan Lingkar Paya Tumpi

Khalisuddin The Globe Journal
Takengon - Pemerintah Aceh Tengah dinilai tidak transparan dalam prosesi pembebasan tanah masyarakat yang terkena pembangunan jalan baru Paya Tumpi-Paya Ilang yang menurut informasi bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Tahun Anggaran 2008 serta dana Sharing dari APBK Aceh Tengah. Jalan itu merupakan jalan elak dari pintu gerbang Kota Takengon menuju lokasi Terminal Terpadu Paya Ilang yang diprogram pada Bupati Aceh Tengah Mustafa M Tamy.
Seorang Warga Kebet AS Kobat (76) kepada The Globe Journal Jumat (12/12) mengungkapkan rasa sesalnya terhadap sikap Pemda Aceh Tengah yang terkesan tertutup. "Memang kami pernah diundang ke Opsroom beberapa minggu lalu untuk sosialisasi, akan tetapi saat itu tidak diungkap harga yang ditawarkan. Anehnya aparatur resmi pemerintahan di tingkat desa menyebarkan isu dengan menebarkan blangko Surat Pernyataan pada 27 Nopember yang lalu dengan isi diantaranya harga tanah kami dinilai Rp 150.000 per meter pukul rata. Cara ini jelas mengundang keresahan dimasyarakat, papar Kobat.
Menurut pantauan, harga tanah disepanjang rencana pembangunan jalan tersebut memang bervariasi. Di beberapa titik pas dinilai Rp 150.000 per meter dan malah diuntungkan. Akan tetapi di bagian strategis seperti tanah milik Kobat dan beberapa warga lainnya harga ini jauh lebih rendah dari harga jual pasaran disana saat ini yakni mencapai Rp. 400.000 per meter Kobat menyatakan mendukung program ini sebab sangat penting untuk kemajuan Aceh Tengah. Tapi kami bermohon agar pengambil kebijakan lebih arif dalam mensosialisasikan program ini. Mungkin dengan pendekatan persuasif sikap kami akan lebih terbuka dan tidak kaget. Dengan cara yang sekarang ditempuh tentu aparatur kampung ini akan menjadi cercaan masyarakat dan dianggap calo. Hal ini tentu tidak perlu terjadi.
Koordinator JANGKO (Jaringan Anti Korupsi Gayo), Hamdani yang diminta tanggapannya pada Jumat (12/12) menyatakan pihaknya telah menerima tembusan surat pernyataan yang ditandatangani beberapa warga Kebet (7/12) yang antara lain berisi dukungan terhadap program pembukaan jalan akan tetapi dengan tegas meminta pihak Pemda Aceh Tengah untuk mempertimbangkan kembali harga yang diissuekan oleh aparat Kampung Kebet tersebut. ”Kami akan dampingi warga tersebut hingga tercapai kesepakatan antara warga dan Pemda. Sementara ini kami masih pelajari kasus ini,” tegas Hamdani.
Lebih lanjut Hamdani menyatakan kekecewaannya dengan pola yang diterapkan oleh Pemda Aceh Tengah yang tidak profesional yakni dengan cara menebarkan blangko surat pernyataan untuk ditandatangi oleh warga. Blangko tersebut tanpa sumber jelas pengirimnya, akan tetapi jelas dapat dibuktikan dari tangan siapa blangko tersebut mulai beredar. ”Beberapa warga malah sudah setuju dan menandatangani isi blangko tersebut”, pungkas Hamdani.[003]

04 Desember 2008

Sapi Bali di Aceh Tengah

Diawali sejak tahun 1983, Almarhum M. Beni Banta Cut selaku Bupati waktu itu membawa 6 ekor sapi Bali ke Aceh Tengah dan diternakkan di Desa Paya Tumpi Kecamatan Lut Tawar. Selanjutnya tahun 1994, Program Bantuan Presiden (Banpres) melalui Pemerintah Provinsi DI. Aceh menyalurkan 100 ekor sapi Bali di beberapa tempat di Aceh Tengah antara lain di Belang Gele, Pedemun, Toweren, Pinangan, Umang dan Jagong Jeget. Yang bertahan sampai sekarang adalah di Jagong Jeget, Paya Tumpi dan Pinangan, sedang di kampung lainnya tidak berhasil. Saat itu bibit sapi Bali (bos javanicus) didatangkan dari Nusa Penida Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dikenal sebagai sentra produksi sapi Bali di Indonesia, hal tersebut diungkapkan Abdul Kadir, SP, Kabid Produksi dan Usaha Dinas Perikanan dan Peternakan kabupaten Aceh Tengah. “Pak Beni merupakan tokoh peternakan Sapi Bali di Aceh Tengah” cetus Abdul Kadir.

Faktor kegagalan utama perkembangan sapi bali di Aceh Tengah sebelumnya diakibatkan konflik Aceh yang berkepanjangan yang berakibat para peternak kesulitan dalam menafkahi keluarga sehingga ternak-ternak yang mereka miliki dijual untuk menopang hidup waktu itu. Akibat Eksodus yang terjadi juga menjadi penyebab utama, masyarakat dari pedalaman cenderung berpindah mencari tempat yang aman yang tentunya membutuhkan biaya, tempat yang baru belum tentu cocok untuk beternak sapi Bali, papar Abdul Kadir.

Pada era sebelum konplik Aceh 1998-2000, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tengah sudah cukup signifikan disetorkan ke Kas Pemda sebut Abdul Kadir tanpa menyebut jumlahnya.

Populasi sapi Bali di Aceh Tengah kini mencapai 4000-an ekor belum termasuk sapi Program Ketapang, jumlah ini dirinci 800-1000-an ekor sapi Bali milik masyarakat sendiri dan sekitar 3000-an ekor bantuan sosial tahun 2006 yang lalu sebut Abdul Kadir. Angka ini berdasarkan perkiraan saja, pasca konplik kita belum memperoleh data valid tambahnya.

Sapi Pelopor
Sebutan sang Pelopor merupakan sebutan populer bagi sapi Bali, hal ini karena kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Dengan pemeliharaan seadanya atau dilepas di padang penggembalaan sapi Bali dapat menghasilkan pertambahan berat badan sampai 0,3 – 0,5 kg perhari dan mencapai 0,8 kg bila dilakukan pemeliharaan intensif dengan pola penggemukan di kandang, diberi pakan yang cukup ditambah dengan konsentrat.

Sapi Bali dinilai oleh sejumlah pakar peternakan mempunyai tingkat kesuburan tinggi, mampu melahirkan pedet 56 ekor tiap 100 ekor sapi betina. Interval kelahiran juga sangat singkat yakni 1 tahun lebih kurang. Sayangnya program Inseminasi Buatan (IB) atau lebih dikenal dengan Kawin Suntik belum dilakukan samasekali. Menurut Drh. Rahmandi, Kabid Kesehatan Hewan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Aceh Tengah tahun 2008 ini program IB mulai dilakukan.

Dari sekian banyak sapi local Indonesia termasuk sapi Aceh, sapi Bali dinilai beberapa kalangan memiliki karakteristik yang lebih baik, disamping kemampuan beradaptasi juga keunggulan-keunggulan lain seperti calving interval (masa birahi) yang lebih pendek, perawatannya juga lebih sederhana serta lebih jinak dibanding sapi lain. “Performance phisiknya juga lebih menarik” jelas Rahmandi.

Penyakit
Kelemahan sapi Bali adalah peka terhadap beberapa penyakit tertentu. Yang pertama penyakit ingusan (snot ziekte) atau malignant catarrhal fever (MCF). Di antara ras sapi, sapi Bali paling peka terhadap infeksi virus MCF. Penyakit ini tidak menular dari sapi ke sapi, tetapi virus penyebabnya ditularkan domba (biri-biri) yang bertindak sebagai pembawa virus, tanpa menderita sakit. Gejala sebelum kematian tidak tampak sama sekali, jelas Drh. Rahmandi. Pencegahannya sederhana tapi agak sulit karena harus berhadapan dengan masyarakat pemilik ternak domba, “Sapi Bali jangan bergabung dengan domba dalam satu kawasan, itu saja”, tegas Rahmandi. Di Kawasan Peternakan Ketapang yang berbatasan langsung dengan Kampung Owaq, kita sudah lakukan program depopulasi domba. Sebelumnya cukup banyak masyarakat yang memelihara domba. “Suatu kegilaan bila sapi Bali berdampingan dengan biri-biri”, tegasnya.

Pantauan Tabloid Sipil, dibeberapa daerah di Aceh Tengah seperti di kampung Mungkur dan Linge kecamatan Linge, pihak BRR regional III menyalurkan sapi Bali di kawasan dimana domba masih berkeliaran disana sini. Dari keterangan penduduk sapi-sapi Bali bantuan tersebut sebagian besar sudah mati.
Drh Rahmandi, pegawai Peternakan Aceh Tengah menyebutkan, Tahun 1964 muncul suatu wabah penyakit baru yang dikenal sebagai penyakit jembrana. Penyakit ini sangat fatal pada sapi Bali, tetapi sapi lain lebih tahan. Puluhan ribu sapi Bali di Bali mati dalam tempo singkat ketika wabah pertama timbul. Baru pada tahun 1991, sebuah tim penyidik berhasil mengidentifikasi virus lenti sebagai penyebab penyakit jembrana. Virus ini masih satu famili dengan (virus) HIV, penyebab penyakit AIDS pada manusia, mudah-mudahan di daerah kita penyakit ini jangan sampai menjangkiti ternak masyarakat papar Rahmandi berharap.
Rahmandi menambahkan bahwa Penyakit lain bernama Bali Ziekte karena banyak ditemukan pada sapi bali. Penyakit disebabkan oleh tanaman yang mampu merusak sel-sel hati (hepatotoksik) dan menimbulkan dermatitis fotosensitisasi. Pada musim kemarau, apabila hijauan makanan ternak langka, sapi Bali akan makan tanaman yang tidak lazim dimakan. Karenanya saat menjelang musim kemarau sebaiknya ternak sapi Bali diawasi dan dipelihara dengan baik terutama menyangkut penyediaan pakan, jelas Rahmandi.
Menyangkut penyakit yang biasa menyerang sapi Bali berupa penyakit Sura dan Brucellosis serta penyakit internal lainnya tapi masih dalam stadium yang tidak membahayakan. Jelas Rahmandi. Kasus penyakit dan berakibat kematian sangat minim, kalaupun ada kematian biasanya disebabkan karena salah penanganan oleh peternak sendiri misalnya terlambat melapor kepada petugas medis sehingga terlambat untuk ditangani. Sangat jarang terjadi kematian ternak bila peternaknya telaten, pungkas Rahmandi.

Peternak ketagihan
Salah seorang peternak, Amrozi (45) penduduk Desa Pinangan mengaku merupakan peternak yang memelihara sapi Bali di Aceh Tengah untuk pertama kali tahun 1997, dan memelihara ternaknya dengan pola perbibitan yakni dengan menjual anak sapi (pedet) sebagai sumber penghasilan. Menurutnya ternak bibit yang diperolehnya berjumlah 2 ekor dengan pola terima 1 kembali 2 dan telah mengembalikan hasil ternak pemerintah tersebut sejumlah 10 ekor, artinya Amrozi sudah memperoleh anak sapi sejumlah 15 ekor keturunan sapi Bali. Kini Amrozi memelihara 3 ekor, dan dia tidak memaksakan diri untuk memelihara lebih banyak karena beternak merupakan usaha sampingan.

Seorang peternak lain di Kampung Paya Serngi Kecamatan Kebayakan, Aman Shafa (40) mengaku ketagihan memelihara sapi Bali yang ditekuni sejak tahun 2004 yang lalu. Menurut Aman Shafa , hal ini disebabkan setiap tahun harga jual jenis sapi bali terus meningkat. Selain itu, setiap sembilan bulan sekali, sapi bali dipastikan sudah beranak. “Seekor sapi bali berumur 8 bulan saat ini dibeli Rp.5-6 juta”, tegas Aman Shafa yang saat ini memelihara delapan ternak dan dipelihara oleh tetangganya yang dianggap kurang mampu dengan sistim bagi hasil.

Dikatakan Aman Shafa beternak sapi bali sangat ideal bagi masyarakat Aceh Tengah karena tersedianya pakan yang cukup disekitar tempatnya tinggal yang masih banyak terdapat lahan tidur.

Selain itu, lanjut Aman Shafa sapi bali sangat mudah dipelihara dan tidak rewel. “Tanpa kandang sekalipun, sapi bali masih dapat menghasilkan anak setiap sembilan bulan”, tambah Aman Shafa.

Boy Abimayu (37) warga Paya Tumpi Kecamatan Kebayakan memelihara 4 ekor betina dan 2 ekor jantan, dalam setahunnya minimal bertambah 4 ekor anak sapi (pedet). Biasanya saya langsung jual pedet betina bila umurnya sudah 1 tahun lebih seharga minimal 4 juta rupiah, dan jantan dihargai lebih dari 5 juta perekor, ungkap Boy.

Jual beli sapi Bali sampai saat ini cenderung masih untuk dipelihara kembali, belum untuk dipotong, kecuali sifatnya potong paksa karena sakit membahayakan nyawa sapi itu sendiri.

Frekuensi Pemotongan
Petugas Rumah Potong Hewan dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Aceh Tengah, Hadi Isra dalam keterangan kepada mingguan ini menyatakan bahwa setiap bulannya sapi Bali dipotong di RPH Takengon sangat sedikit hanya 1 ekor dalam sebulan. Lain halnya dengan kerbau mencapai 3 ekor perhari dan pada hari-hari besar Islam bisa lebih.
Masyarakat Aceh Tengah lebih menyukai daging kerbau ketimbang daging sapi, akan tetapi saat ini daging sapi Bali sudah mulai disukai walau masih kalah dengan daging Kerbau, jelas Hadi.

Harga daging di pajak daging Takengon saat ini Rp. 70.000,-/ kg baik daging kerbau maupun sapi. Di provinsi kita, NAD harga daging tertinggi di dunia, tambahnya.

Program nasional Swasembada Daging 2010 dan Sapi Bali di Peternakan Ketapang
Kawasan Peternakan Terpadu Ketapang merupakan ide visioner sebut DR. Luki Abdullah Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor saat berkunjung ke Ketapang tahun lalu. Prof. Soemitro dari FKH UGM Yogyakarta menyebutnya Gayo Great Farm (GGF) pada awal tahun 2007 lalu.

Sangat beralasan kedua pakar peternakan dari dua universitas ternama di Indonesia menyebutnya demikian. “Sejauh yang saya tau, belum pernah ada bupati yang berani buat program seperti ini” ujar Luki Abdullah di Ketapang dalam rangkaian kegiatan Workshop tiga universitas (IPB, Unsyiah dan Gouttingen Jerman pertengahan tahun 2007 lalu. Selanjutnya Luki katakan “Program ini harus didukung dan harus berhasil” tegasnya.

Kini 100 KK telah ditempatkan sebagai peternak dan telah diberi ternak 15 ekor per KK, sampai tahun 2007, 790-an ekor sapi Bali telah didistibusikan disana sejak tahun 2005 dari berbagai sumber baik pusat, provinsi maupun APBK Aceh Tengah. Kritik dan sorotanpun mengalir akibat anggapan program ini belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan sementara anggaran terus mengalir mencapai puluhan milyar.
Semua pihak kini menunggu akankah Program Ketapang mampu diposisi terdepan di Provinsi ini dalam menjawab tantangan Swasembada Daging 2010 ?. (Khalisuddin, S. Pt)

12 September 2008

Objek Wisata Wih Ni Kulus butuh Lahan Parkir

Pintu Rime Gayo adalah sebuah Kecamatan yang menjadi Pintu Gerbang memasuki wilayah Tanoh Gayo, berada di daerah dataran tinggi yang dikenal sebagai dataran tinggi Gayo. Hawa daerahnya dinggin dan sejuk hingga menjadi daya tarik tersendiri sebagai daerah kunjungan wisata.

Menyambut kemeriahan Idhul Fitri, Tahun Baru 2009, dan Idhul Adha, sejumlah lokasi objek wisata alam di Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, mulai mempersiapkan sarana dan prasarana. Berdasarkan pengalaman di setiap akhir tahun lonjakan pengunjung di sejumlah lokasi wisata alam Pintu Rimba Gayo meningkat. Peningkatan itu juga berdampak pada jumlah kendaran parkir di lokasi-lokasi wisata.

Saat kemeriahan hari-hari besar Islam dan Tahun Baru, sumber pendapatan masyarakat di sekitar objek wisata selain berjualan juga dari hasil lahan parkir. Untuk saat ini di daerah Pintu Rime Gayo objek wisata yang paling banyak di banjiri pengunjung di setiap akhir tahunnya adalah objek wisata Wih Ni Kulus atau disebut dengan wisata Arul Kulus, Desa Blangrakal, Kilometer 45, jalan Bireuen-Takengon.

Secara langsung Arul Kulus telah membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. Pada saat hari-hari besar itu ribuan orang membanjiri lokasi wisata ini. Sumber pendapatan masyarakat juga turut hidup dengan adanya objek wisata selain berjuala juga membuka lahan parkir. Beberapa pemuda Desa Blangrakal dan masyarakat korban konflik di Pintu Rime Gayo bekerja di objek wisata Wih Ni Kulus.

Pengelola objek wisata telah melakukan beberapa penataan di dalam lokasi sebagai persiapan kunjungan wisata akhir tahun. Dengan keterbatasan dana lokasi wisata belum dapat dikembangkan secara propesional. Pembersihan lahan yang selama ini dilakukan masih suwadaya dan gotong-royong dengan masyarakat sekitar.

Dalam rangka menyambut lonjakan pengunjung pada hari-hari besar ini, Arul Kulus selalu bermasalah dengan lahan parkir kendaraan roda dua dan roda empat. Lonjakan pengunjung yang terjadi tidak mampu menampung jumlah kendaraan yang masuk ke lokasi wisata sehingga pengunjung dari daerah-daerah luar enggan singgah di Arul Kulus.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah dalam penyempurnaan lokasi Arul Kulus adalah pelebaran badan jalan raya Bireuen-Takengin yang melintasi di kawasan itu. Selain itu pembangunan lahan parkir yang memadai perlu diciptakan selain pagar pengaman jalan.. Ini dilakukan sebagai langkah awal daerah dalam mendukung kunjungan wisata, Visit Tanoh Gayo.

Objek wisata Weh Ni Kulus memiliki potensi alam yang dapat dijadikan unggulan. Bila dikelola secara baik, Arul Kulus yang merupakan ‘panorama sungai di dasar lembah’ dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang lumayan baik untuk Kabupaten Bener Meriah. (Idrus Saputra)

10 September 2008

MASYARAKAT LINGE TUNTUT GANTI RUGI RUGI


Masyarakat 5 kampung yakni Kampung Linge, Pertik, Delung Sekinel, Reje Payung dan Kampung Jamat di Kecamatan Linge menyesalkan sikap para penentu kebijakan di wilayah ini terkait kasus penyimpangan bantuan kambing bantuan BRR beberapa waktu lalu di kelima kampung tersebut.

Dalam pemberitaan beberapa harian dan tabloid beberapa waktu yang lalu, Forum Aliansi Peduli Linge diberitakan menemukan indikasi berbagai penyimpangan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Produktif di Lima Kampung di Kecamatan Linge, Aceh Tengah. Lembaga tersebut menemukan, penyimpangan bantuan dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias senilai Rp.1.5 miliar. Bantuan tersebut dikelola LSM Perantar dan kambing-kambing tersebut serta kambing setempat mendadak mati secara missal. Dinas terkait di Aceh sontak seperti kebakaran jenggot, dan pada pertengahan Mei lalu diturunkan tim dari Dinas Peternakan Provinsi NAD didampingi Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Tengah turun ke Lima Kampung terpencil tersebut untuk memastikan penyebab kematian secara massal kambing-kambing bantuan tersebut yang diikuti dengan kematian ribuan kambing setempat. Setelah mendiagnosa penyakit, tim inipun mengeluarkan statemen bahwa “Kematian Kambing BRR Bukan Wabah”. Hamdani seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Takengon (STIHMAT) yang dikenal sangat peduli dengan urusan kepentingan masyarakat bawah, beberapa hari yang lalu berkunjung kelima kampung tersebut dan sangat menyayangkan tidak ditindaklanjutinya kasus besar tersebut oleh pihak terkait. “bagaimana ini, mengundurkan diri seorang Bupati, pada ribut semua, tapi saat rakyat miskin tertindas, semua diam seolah tak tau apa-apa”, cetus Hamdani kesal.

Kambing-kambing bantuan BRR NAD Nias diperuntukkan bagi lima kampung melalui lima koperasi di Kecamatan Linge yakni Kampung Linge, Pertik, Delung Sekinel, Reje Payung dan Kampung Jamat Kecamatan Linge. Proyek pemberdayaan masyarakat miskin itu bersumber dana BRR NAD Nias dari DIPA tahun anggaran 2007 sebesar Rp 1,5 miliar.

Bukan hanya kambing bantuan yang ludes, kambing setempat juga habis, rata-rata 400an ekor mati perkampung dan diperkirakan tidak kurang dari duaribuan ekor kambing setempat habis. Bila harga kambing saat ini mencapai 1 juta Rupiah, maka total kerugian masyarakat miskin mencapai 2 milyar, ungkap Hamdani. “mana tanggung jawab stakeholdernya ?” Tanya Hamdani.

Seorang tokoh masyarakat kawasan tersebut, M. Rum menyatakan ancaman akan lapor ke pihak berwajib bila sampai habis Ramadhan ini persoalan belum selesai. “kami tidak harap lagi bantuan tersebut, tapi ternak kami yang mati akibat tertular itu bagaimana ?” tanyanya didampingi Hamdani dan sejumlah tokoh masyarakat kelima kampung tersebut.

Kepala Kampung Jamat, Jamaluddin juga menyatakan kekecewaannya terhadap Program Bantuan BRR tersebut ke wilayahnya. Bukan untung yang kami dapat tapi malah buntung, ungkap Jamaluddin.

Selanjutnya Hamdani menambahkan, “Kalau begini Program Swasembada Daging 2010 jadi tidak jelas dan halau kemiskinan malah kabur di Aceh Tengah. Karena kawasan ini merupakan Kawasan Ternak sejak dahulu dan paling marjinal di Aceh Tengah”.

Ikhwanussufa, selaku Kepala Satker Agama Sosial Budaya BRR NAD Nias Regional III dalam pernyataannya di Media Massa pertengahan Mei lalu telah menyebutkan bahwa proyek bantuan kambing di Kecamatan Linge, analisis CPCL tidak pernah dilakukan., Ikhwanussufa mengatakan, bila LSM Perantar telah membuat kesalahan besar, LSM yang ditunjuk sebagai pendamping malah bertindak sebagai pelaksana. LSM Perantar membeli kambing kambing itu dan diserahkan kepada warga, padahal, dalam juklaknya, tidak berniat baik untuk memperbaiki kinerjanya sebagai tenaga pendamping, maka LSM Perantar harus menyetor sejumlah kerugian kepada kas negara. Bahkan Ikhwanussufa menegaskan “Kami akan meneruskan kasus kamatian kambing kambing bantuan itu untuk diproses hukum,” ujarnya. Tapi kenyataannya hingga saat ini belum proses apapun baik proses hokum maupun proses ganti rugi bagi masyarakat.
Anehnya, Ketua LSM Perantar, Dwi Putra seperti pernyataannya yang dikutif dari sebuah tabloid menyatakan semua tudingan-tudingan yang diarahkan kepadanya tidak benar. “masalah kambing mati, itu tanggung jawab Koperasi sendiri, mereka sendiri yang belanja” ungkapnya.
Selanjutnya Hamdani mengungkapkan keheranannya, kenapa tokoh-tokoh masyarakat di Aceh Tengah tidak ada yang peduli, seperti anggota dewan misalnya. “caleg-caleg ndak usah kampanye kesana, toh saat mereka butuh pembelaan ndak ada yang peduli” ketus Hamdani prihatin.

30 Juli 2008

Peternakan Sapi Bali di Aceh Tengah

Diawali sejak tahun 1983, Almarhum M. Beni Banta Cut selaku Bupati waktu itu membawa 6 ekor sapi Bali ke Aceh Tengah dan diternakkan di Desa Paya Tumpi Kecamatan Lut Tawar. Selanjutnya tahun 1994, Program Bantuan Presiden (Banpres) melalui Pemerintah Provinsi DI. Aceh menyalurkan 100 ekor sapi Bali di beberapa tempat di Aceh Tengah antara lain di Belang Gele, Pedemun, Toweren, Pinangan, Umang dan Jagong Jeget. Yang bertahan sampai sekarang adalah di Jagong Jeget, Paya Tumpi dan Pinangan, sedang di kampung lainnya tidak berhasil. Saat itu bibit sapi Bali (bos javanicus) didatangkan dari Nusa Penida Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dikenal sebagai sentra produksi sapi Bali di Indonesia, hal tersebut diungkapkan Abdul Kadir, SP, Kabid Produksi dan Usaha Dinas Perikanan dan Peternakan kabupaten Aceh Tengah. “Pak Beni merupakan tokoh peternakan Sapi Bali di Aceh Tengah” cetus Abdul Kadir.

Faktor kegagalan utama perkembangan sapi bali di Aceh Tengah sebelumnya diakibatkan konflik Aceh yang berkepanjangan yang berakibat para peternak kesulitan dalam menafkahi keluarga sehingga ternak-ternak yang mereka miliki dijual untuk menopang hidup waktu itu. Akibat Eksodus yang terjadi juga menjadi penyebab utama, masyarakat dari pedalaman cenderung berpindah mencari tempat yang aman yang tentunya membutuhkan biaya, tempat yang baru belum tentu cocok untuk beternak sapi Bali, papar Abdul Kadir.

Pada era sebelum konplik Aceh 1998-2000, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tengah sudah cukup signifikan disetorkan ke Kas Pemda sebut Abdul Kadir tanpa menyebut jumlahnya.

Populasi sapi Bali di Aceh Tengah kini mencapai 4000-an ekor belum termasuk sapi Program Ketapang, jumlah ini dirinci 800-1000-an ekor sapi Bali milik masyarakat sendiri dan sekitar 3000-an ekor bantuan sosial tahun 2006 yang lalu sebut Abdul Kadir. Angka ini berdasarkan perkiraan saja, pasca konplik kita belum memperoleh data valid tambahnya.

Sapi Pelopor
Sebutan sang Pelopor merupakan sebutan populer bagi sapi Bali, hal ini karena kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Dengan pemeliharaan seadanya atau dilepas di padang penggembalaan sapi Bali dapat menghasilkan pertambahan berat badan sampai 0,3 – 0,5 kg perhari dan mencapai 0,8 kg bila dilakukan pemeliharaan intensif dengan pola penggemukan di kandang, diberi pakan yang cukup ditambah dengan konsentrat.

Sapi Bali dinilai oleh sejumlah pakar peternakan mempunyai tingkat kesuburan tinggi, mampu melahirkan pedet 56 ekor tiap 100 ekor sapi betina. Interval kelahiran juga sangat singkat yakni 1 tahun lebih kurang. Sayangnya program Inseminasi Buatan (IB) atau lebih dikenal dengan Kawin Suntik belum dilakukan samasekali. Menurut Drh. Rahmandi, Kabid Kesehatan Hewan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Aceh Tengah tahun 2008 ini program IB mulai dilakukan.

Dari sekian banyak sapi local Indonesia termasuk sapi Aceh, sapi Bali dinilai beberapa kalangan memiliki karakteristik yang lebih baik, disamping kemampuan beradaptasi juga keunggulan-keunggulan lain seperti calving interval (masa birahi) yang lebih pendek, perawatannya juga lebih sederhana serta lebih jinak dibanding sapi lain. “Performance phisiknya juga lebih menarik” jelas Rahmandi.

Penyakit
Kelemahan sapi Bali adalah peka terhadap beberapa penyakit tertentu. Yang pertama penyakit ingusan (snot ziekte) atau malignant catarrhal fever (MCF). Di antara ras sapi, sapi Bali paling peka terhadap infeksi virus MCF. Penyakit ini tidak menular dari sapi ke sapi, tetapi virus penyebabnya ditularkan domba (biri-biri) yang bertindak sebagai pembawa virus, tanpa menderita sakit. Gejala sebelum kematian tidak tampak sama sekali, jelas Drh. Rahmandi. Pencegahannya sederhana tapi agak sulit karena harus berhadapan dengan masyarakat pemilik ternak domba, “Sapi Bali jangan bergabung dengan domba dalam satu kawasan, itu saja”, tegas Rahmandi. Di Kawasan Peternakan Ketapang yang berbatasan langsung dengan Kampung Owaq, kita sudah lakukan program depopulasi domba. Sebelumnya cukup banyak masyarakat yang memelihara domba. “Suatu kegilaan bila sapi Bali berdampingan dengan biri-biri”, tegasnya.

Pantauan Tabloid Sipil, dibeberapa daerah di Aceh Tengah seperti di kampung Mungkur dan Linge kecamatan Linge, pihak BRR regional III menyalurkan sapi Bali di kawasan dimana domba masih berkeliaran disana sini. Dari keterangan penduduk sapi-sapi Bali bantuan tersebut sebagian besar sudah mati.
Drh Rahmandi, pegawai Peternakan Aceh Tengah menyebutkan, Tahun 1964 muncul suatu wabah penyakit baru yang dikenal sebagai penyakit jembrana. Penyakit ini sangat fatal pada sapi Bali, tetapi sapi lain lebih tahan. Puluhan ribu sapi Bali di Bali mati dalam tempo singkat ketika wabah pertama timbul. Baru pada tahun 1991, sebuah tim penyidik berhasil mengidentifikasi virus lenti sebagai penyebab penyakit jembrana. Virus ini masih satu famili dengan (virus) HIV, penyebab penyakit AIDS pada manusia, mudah-mudahan di daerah kita penyakit ini jangan sampai menjangkiti ternak masyarakat papar Rahmandi berharap.
Rahmandi menambahkan bahwa Penyakit lain bernama Bali Ziekte karena banyak ditemukan pada sapi bali. Penyakit disebabkan oleh tanaman yang mampu merusak sel-sel hati (hepatotoksik) dan menimbulkan dermatitis fotosensitisasi. Pada musim kemarau, apabila hijauan makanan ternak langka, sapi Bali akan makan tanaman yang tidak lazim dimakan. Karenanya saat menjelang musim kemarau sebaiknya ternak sapi Bali diawasi dan dipelihara dengan baik terutama menyangkut penyediaan pakan, jelas Rahmandi.
Menyangkut penyakit yang biasa menyerang sapi Bali berupa penyakit Sura dan Brucellosis serta penyakit internal lainnya tapi masih dalam stadium yang tidak membahayakan. Jelas Rahmandi. Kasus penyakit dan berakibat kematian sangat minim, kalaupun ada kematian biasanya disebabkan karena salah penanganan oleh peternak sendiri misalnya terlambat melapor kepada petugas medis sehingga terlambat untuk ditangani. Sangat jarang terjadi kematian ternak bila peternaknya telaten, pungkas Rahmandi.

Peternak ketagihan
Salah seorang peternak, Amrozi (45) penduduk Desa Pinangan mengaku merupakan peternak yang memelihara sapi Bali di Aceh Tengah untuk pertama kali tahun 1997, dan memelihara ternaknya dengan pola perbibitan yakni dengan menjual anak sapi (pedet) sebagai sumber penghasilan. Menurutnya ternak bibit yang diperolehnya berjumlah 2 ekor dengan pola terima 1 kembali 2 dan telah mengembalikan hasil ternak pemerintah tersebut sejumlah 10 ekor, artinya Amrozi sudah memperoleh anak sapi sejumlah 15 ekor keturunan sapi Bali. Kini Amrozi memelihara 3 ekor, dan dia tidak memaksakan diri untuk memelihara lebih banyak karena beternak merupakan usaha sampingan.

Seorang peternak lain di Kampung Paya Serngi Kecamatan Kebayakan, Aman Shafa (40) mengaku ketagihan memelihara sapi Bali yang ditekuni sejak tahun 2004 yang lalu. Menurut Aman Shafa , hal ini disebabkan setiap tahun harga jual jenis sapi bali terus meningkat. Selain itu, setiap sembilan bulan sekali, sapi bali dipastikan sudah beranak. “Seekor sapi bali berumur 8 bulan saat ini dibeli Rp.5-6 juta”, tegas Aman Shafa yang saat ini memelihara delapan ternak dan dipelihara oleh tetangganya yang dianggap kurang mampu dengan sistim bagi hasil.

Dikatakan Aman Shafa beternak sapi bali sangat ideal bagi masyarakat Aceh Tengah karena tersedianya pakan yang cukup disekitar tempatnya tinggal yang masih banyak terdapat lahan tidur.

Selain itu, lanjut Aman Shafa sapi bali sangat mudah dipelihara dan tidak rewel. “Tanpa kandang sekalipun, sapi bali masih dapat menghasilkan anak setiap sembilan bulan”, tambah Aman Shafa.

Boy Abimayu (37) warga Paya Tumpi Kecamatan Kebayakan memelihara 4 ekor betina dan 2 ekor jantan, dalam setahunnya minimal bertambah 4 ekor anak sapi (pedet). Biasanya saya langsung jual pedet betina bila umurnya sudah 1 tahun lebih seharga minimal 4 juta rupiah, dan jantan dihargai lebih dari 5 juta perekor, ungkap Boy.

Jual beli sapi Bali sampai saat ini cenderung masih untuk dipelihara kembali, belum untuk dipotong, kecuali sifatnya potong paksa karena sakit membahayakan nyawa sapi itu sendiri.

Frekuensi Pemotongan
Petugas Rumah Potong Hewan dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Aceh Tengah, Hadi Isra dalam keterangan kepada mingguan ini menyatakan bahwa setiap bulannya sapi Bali dipotong di RPH Takengon sangat sedikit hanya 1 ekor dalam sebulan. Lain halnya dengan kerbau mencapai 3 ekor perhari dan pada hari-hari besar Islam bisa lebih.
Masyarakat Aceh Tengah lebih menyukai daging kerbau ketimbang daging sapi, akan tetapi saat ini daging sapi Bali sudah mulai disukai walau masih kalah dengan daging Kerbau, jelas Hadi.

Harga daging di pajak daging Takengon saat ini Rp. 70.000,-/ kg baik daging kerbau maupun sapi. Di provinsi kita, NAD harga daging tertinggi di dunia, tambahnya.

Program nasional Swasembada Daging 2010 dan Sapi Bali di Peternakan Ketapang
Kawasan Peternakan Terpadu Ketapang merupakan ide visioner sebut DR. Luki Abdullah Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor saat berkunjung ke Ketapang tahun lalu. Prof. Soemitro dari FKH UGM Yogyakarta menyebutnya Gayo Great Farm (GGF) pada awal tahun 2007 lalu.

Sangat beralasan kedua pakar peternakan dari dua universitas ternama di Indonesia menyebutnya demikian. “Sejauh yang saya tau, belum pernah ada bupati yang berani buat program seperti ini” ujar Luki Abdullah di Ketapang dalam rangkaian kegiatan Workshop tiga universitas (IPB, Unsyiah dan Gouttingen Jerman pertengahan tahun 2007 lalu. Selanjutnya Luki katakan “Program ini harus didukung dan harus berhasil” tegasnya.

Kini 100 KK telah ditempatkan sebagai peternak dan telah diberi ternak 15 ekor per KK, sampai tahun 2007, 790-an ekor sapi Bali telah didistibusikan disana sejak tahun 2005 dari berbagai sumber baik pusat, provinsi maupun APBK Aceh Tengah. Kritik dan sorotanpun mengalir akibat anggapan program ini belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan sementara anggaran terus mengalir mencapai puluhan milyar.

Semua pihak kini menunggu akankah Program Ketapang mampu diposisi terdepan di Provinsi ini dalam menjawab tantangan Swasembada Daging 2010 ?. (Khalisuddin)

04 Juli 2008

CABC DAN VisTaGa


Anggota Central Aceh Bicycle Community (CABC) bergabung bersama LSM. Visit Tanoh Gayo (VisTaga) mendaki Pengunungan di Kampung Luang Kecamatan Pegasing Aceh Tengah dalam rangka investigasi keberadaan Wih Osop (red. Gayo : Air Hilang) di kawasan hutan desa tersebut (Minggu, 18 Juni 2008).

Setiap Minggunya kedua lembaga ini melakukan kegiatan serupa disamping untuk kesehatan juga dalam upaya menggali potensi-potensi wisata yang ada di Tanoh Gayo.

Pegiat LSM VisTaga terdiri dari unsur Pers, Olahragawan, Pengusaha, PNS, photografer dan mahasiswa. Beberapa waktu yang lalu, Lembaga ini menemukan Anggrek Kantung Semar yang hidup berdampingan di Gunung Oregon.

Sekretaris LSM VisTaga Kh. A. Zaghlul, menyebutkan bahwa Tanoh Gayo kaya dengan potensi wisata, akan tetapi tidak terdata dan terekspose dengan baik kepada dunia luar. Karenanya dengan wadah ini diharapkan akan dapat memberi rekomendasi yang bermanfaat akan potensi-potensi yang ada. Beberapa hari yang lalu kita juga buat kegiatan pembuatan grafiti “Visit Tanoh Gayo 2008” di jalan raya pintu gerbang memasuki kota Takengon, kegiatan ini diprakarsai oleh rekan-rekan LSM serta pihak-pihak yang bersimpati kepada program kita. Dengan dana kumpul-kumpul jadi grafitinya. Mari kita dukung program Visit Aceh Tengah 2008 serunya.

Sementara koordinator trek CABC, Ir. Win. RB, menyebutkan bahwa setiap minggu kita lakukan perjalanan ke tempat-tempat yang punya potensi wisata dan tempat bersejarah. Kita juga terus mengkampayekan Bike to Work (bersepeda ke tempat kerja), Bike for Health (bersepeda untuk sehat) serta Bike for Tourism (wisata dengan bersepeda) sejak PORDA X tahun 2006 yang lalu. Syukurlah kegiatan ini dapat respon positif dari berbagai pihak dan sampai saat ini simpati dan animo terus mengalir ungkap Win. RB.

Hasil perjalanan kami dapat di akses melalui dunia maya dengan alamat antara lain :
http://www.gayolinge.com/, gayobicycle.multiply.com dan winbathin.multiply.com tambah Win. RB.
LSM VisTaga dan CABC juga siap menjadi guide bagi wisatawan atau ilmuwan yang berkunjung dan melakukan penelitian di Aceh Tengah. Kedepan kita sudah dan akan jalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam hal penyewaan perlengkapan seperti fasilitas sepeda jenis MTB standar kerjasama dengan ISSI Aceh Tengah, Sepeda Motor, Mobil, perahu tradisional, dan perlengkapan selam (diving) kerjasama dengan POSSI Aceh Tengah dan fasilitas boat kerjasama dengan Instansi Pemerintah terkait. jelas Kh. A. Zaghlul

17 April 2008

Komunitas CABC : Promosikan Wisata Aceh Tengah dengan Sepeda


Kelompok pecinta olah raga bersepeda yang lebih dikenal dengan Central Aceh Bicycle Community (CABC) yang merupakan bagian dari Aceh Bicycle Community, terus mengkampanyekan olah raga bersepeda untuk kesehatan, bersepeda ke tempat kerja serta upaya-upaya promosi wisata tanah Gayo.

Wakil Ketua CABC Takengon, Khalisudin S.Pt, yang sejak PORDA Tahun lalu terus mengembangkan olah raga bersepeda ini, rutin melakukan kegiatan bersepeda seputaran Aceh Tengah, termasuk mengunjungi dan menggali potensi pariwisata yang belum dikelola.Seperti yang dilakukan CABC Aceh Tengah, Minggu (6/4) yang melakukan olah raga bersepeda jenis Mountain Bike ke bagian Selatan Danau dengan Rute Takengon-Rawe pulang pergi.


Dalam kesempatan itu, wartawan Harian Rakyat Aceh juga ikut serta anggota CABC lainnya Munawardi dan Fajar. Aceh Tengah merupakan surga bagi pecinta olah raga bersepeda untuk kesehatan dan untuk kenderaan bekerja. Takengon dengan topografinya yang merupakan kawasan pegunungan telah menjadikan kawasan pegunungan ini banyak dikunjungi pecinta olah raga bersepeda, selain untuk tujuan wisata dan tercatat sejak 2006 telah berkali-kali rombongan Atjeh Bicycle Community (ABC) berkunjung ke Tanah Gayo. ini berkat promosi dan undangan kita sebut Khalisuddin

Seperti saat mengunjungi lokasi air terjun yang sangat indah dan alami di Kampung Rawe Kecamatan Luttawar Takengon. Kearifan lokal masih terlihat disekitar kaki pegunungan Danau ini. Hutan pinus dan hutan asli masih terlihat di pinggir kampung yang dekat dengan aliran sungai meski tampak di dekat air terjun Tensaran Rawe terlihat sudah ada aktivitas penebangan untuk dijadikan kebun kopi warga. Jalan menuju lokasi air terjun Tensaren Rawe belum diaspal dan melewati sawah serta kebun kopi warga setempat.“Jalan alami seperti ini merupakan kesukaan pecinta sepeda”, terang Khalis sambil menggenjot pedal sepedanya pada tanjakan.

Sekitar 4 kilometer dari Kampung Rawe, air terjun Tensaren terlihat sangat indah dengan ketinggian air terjun kurang dari 100 meter yang menimbulkan uap air dan pelangi bila berada dibawah air terjun ini.Semuanya masih terlihat alami. Onggokan kayu dan tanaman lumut terlihat disekitar air terjun. Menurut warga setempat, meski jalan setapak kearah air terjun Tensaren, namun sudah banyak pengunjung yang datang melihat keindahan air terjun ini.Menurut Khalisuddin, sebaiknya jalan menunju Tensaren dibiarkan alami. Namun beberapa lokasi menuju Air terjun sebaiknya dibangun tempat istirahat dan Mushalla. Selebihnya, hutan dan ekosistim Air Terjun Tensaren Rawe sebaiknya dibiarkan alami karena hal itu merupakan daya tarik wisata yang disukai wisatawan local dan Asing.‘Kedepan, air terjun Tensaren Rawe akan dijadikan CABC sebagai salah satu rute kegiatan bersepeda santai. Karena menjanjikan pesona yang indah”, ungkap wakil ketua CABC Takengon. Dijelaskan Khalisuddin, di Aceh Tengah banyak sekali rute kegiatan bersepeda yang bisa dikunjungi setiap saat karena aksesnya dari pusat kota Takengon sangat dekat. Olah raga bersepeda, khususnya Mountain Bike (MTB) sangat cocok di Dataran Tinggi Gayo.

“Dijamin, pecinta olah raga bersepeda akan menemukan tempatnya di Takengon”, jelas Khalisudin yang banyak menerima pecinta olah raga sepeda dari Aceh. Baik warga local ataupun pekerja asing. Karena selain alam yang indah, udara pegunungan Aceh Tengah menjadi tempat tersendiri bagi mereka yang menyukai eksotika alam melalui kegiatan bersepeda (Win Ruhdi Bathin)

DR. Armiadi, M.Sc : Ternak Sapi Bali Takengon Perlu Makanan Tambahan

DR. Armiadi,M.Sc, seorang peneliti ternak dari IPB Bogor yang sedang pulang Kampung ke Takengon, berkesempatan mengunjungi Dusun Paya Serngi Kampung Timangan Gading Kecamatan Kebayakan. Dalam kunjungan ke Kampung di pinggiran Kota Takengon ini, DR. Armiadi diminta warga setempat untuk memberi penyuluhan tidak resmi terhadap pola peternakan sapi bali yang umum dilakukan warga setempat.Dalam kesempatan berdiskusi tersebut, Selasa (15/4) warga menceritakan pola beternak sapi bali dan makanan yang diberikan.

Setelah mendengar berbagai keluhan warga, menurut DR.Armiadi, peternak sapi bali di seputaran Takengon masih memakai pola tradisional.Dimana sapi hanya diikat kemudian sore harinya dikandangkan dengan memberi makanan tambahan rumput. “Rumput saja tidak cukup. Karena masih banyak zat kebutuhan sapi yang tidak terdapat dalam rumput hingga perlu diberi makanan tambahan dari unsur lain (mikro)”, ujar Armiadi pada sejumlah warga.Unsur selain rumput tersebut kata peneliti ternak dari IPB ini, bisa didapat dari makanan tambahan seperti dari Milton yang bisa didapat dan diperjualbelikan serta konsentrat.

Dikatakan Armiadi, petani yang memelihara ternak sejenis sapi bali telah menghasilkan keuntungan ganda.Keuntungan tersebut rinci Armiadi antara pupuk kandang yang dapat dipakai untuk pertanian warga serta kebutuhan lainnya. Seperti dijual yang dipakai untuk pupuk bunga.Setelah mengamati berbagai masukan dari warga peternak, Armiadi menyatakan bahwa pengetahuan dasar peternak tentang pemeliharaan ternak masih sangat kurang sehingga perlu diberi penyuluhan intensif agar pengelolaan ternak dapat dijadikan komoditas unggulan selain pertanian.Hanya saja, kata Armiadi, ternak bali tidak bisa disamakan pemeliharaannya dalam lokasi yang sama dengan domba karena bisa menimbulkan penyakit bagi sapi yang disebut MCF. “Virus ini sejenis virus HIV yang belum ada obatnya”, ujar Armiadi.

Di tempat yang sama, Khalisudin S.Pt, Pegawai Peternakan Aceh Tengah yang mendampingi Armiadi menyatakan, Kampung Paya Serngi selama ini sudah dikenal sebagai lokasi peternakan yang disebut VBC (Village Breeding Center) dan terus berkembang yang dilakukan oleh warga. “Dari 200 Kepala Keluarga, 95 diantaranya memiliki hewan peliharaan atau ternak”, ujar Khalis. Namun masih ditemukan beberapa kekurangan dalam pemeliharaan ternak, jelas Khalis, umpamanya, belum adanya kelompok tani ternak yang memudahkan pencapaian tujuan usaha ternak serta membuka akses ke pihak pemerintah maupun swasta. Selain itu, kekurangan lainnya adalah belum diterapkannya tehnologi pakan ternak dan management kandang yang baik.

Menyangkut kandang, kata Khalis, masih berpola sangat tradisonal bahkan dinilai setengah penganiayaan pada ternak. Karena banyak ternak yang meski mempunyai kandang namun dibiarkan tanpa lantai sehingga ternak berada dalam kubangan. “Masyarakat juga belum mempunyai Hijauan Makanan Ternak (HMT) unggul. Sehingga masih mengandalkan rumput alam (Native grass) saja. Imbuh Khalis.

Khalis menyarankan perlunya pengembangan dan penerapan tehnologi reproduksi ternak di Aceh Tengah seperti Inseminasi Buatan (IB) atau minimal pengaturan kawin alam yang lebih intensif . Menyinggung makanan tambahan atau konsentrat, menurut Khalisudin bahan bakunya cukup melimpah di Takengon, seperti, kulit kopi kering, ampas tebu dan limbah pertanian seperti batang jagung, kacanga-kacangan dan jerami padi (www.gayolinge.com)

11 April 2008

senam siswa di Owaq, linge, aceh tengah


Edysaputra, S.Pd, guru olahraga PNS pengangkatan tahun 2008. memulai pengabdiannya di SMPN 24 Kampung Owaq Kecamatan Linge melatih senam kesegaran jasmani bagi siswanya. sebelumnya siswa SMP ini belum mengenal senam kesegaran jasmani.
Siswa/ siswi sekolah tersebut sebagian adalah anak-anak Peternak Ketapang.

Menurut Edy, disana minim fasilitas pendukung pendidikan seperti fasilitas praktek serta tidak adanya sumber air bersih. masyarakat umumnya buang hajat disungai tanpa dinding pembatas...

10 April 2008

Mencacah Rumput


Peternak Ketapang butuh Chooper (mesin Pencacah Rumput) guna meningkatkan daya cerna ternak terhadap pakan yang diberikan, sehingga meningkatkan pertambahan berat badan

08 April 2008

muniru


seorang ibu di kampung pedemun lut tawar takengon sedang muniru (memanaskan badan) setelah mulamut (membersihkan gulma) di sawah miliknya.

03 Maret 2008

Makan Sisa Illegal Logging


Seorang pengemudi truk sedang mengangkut sisa illegal logging untuk kayu bakar di kawasan tanoh Linge. Walau sangat berat tapi tetap memaksakan diri demi kebutuhan dapur sang istri

25 Februari 2008

Sang Pecinta Kuda Pacu


Setiap HUT kemerdekaan RI, di Tanoh Gayo Aceh Tengah, diselenggarakan Pacuan Kuda yang berlokasi di Blang Bebangka, 7 km dari Takengon. Masyarakat baik dari dalam dan luar Aceh tengah berjubel di arena pacuan kuda ini.

24 Februari 2008

senja (senye lao : gayo)


kreatifitas seorang guru, seniman, di Telintang, Pegasing, Aceh Tengah, NAD dalam mengisi hari memanfaatkan lahan tidur di desanya

27 Januari 2008

MULETEP


Win, putra kampung Mungkur, Linge, memakai sumpit (letep) terbuat dari bambu Ines (red. Gayo : Oloh Ines) dengan peluru Uahni Kesbeh mengusir sapi yang masuk ke lahan pertanian ama (ayah) nya.


Anak Sulung Aman Dimot Pejuang Kemerdekaan RI


Aman Ira, putra tertua dari Aman Dimot, sang pejuang kemerdekaan RI putra Linge.

Bertempat tinggal di rumah bantuan yang disewakan penduduk setempat kepadanya di Kampung Simpang Tige Uning, Linge, Aceh Tengah.

Beliau menutupi kehidupan sehari-harinya dengan menderes air nira dan langsung memrosesnya menjadi lempengan gula aren yang dipasarkan di ibukota kecamatan Linge, Isaq (Photo direkam 9/9/07)

26 Januari 2008

NYETRUM


Penangkapan ikan dengan menggunakan arus listrik harus segera dihentikan dan pelaku diberi sanksi berat agar kelestarian ikan-ikan sungai pedalaman Linge seperti Gegaring, Ili, Lemeduk, Mungkus, Gemoh, Likis, Baung, Denung, Mut, Lempawi, Relo, Kepaiten, Sepui, Bobot, Iken Pedih, Kebaro dan beberapa jenis ikan lainnya dapat terjaga.

24 Januari 2008

Sepintas Kecamatan Linge



Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah memiliki luas wilayah mencapai 2.262,85 Km2 dan 27 % dari kecamatan terluas ini merupakan hutan negara dan hutan rakyat yang masih alami. Daerah ini merupakan daerah miskin dan tertinggal (marjinal) akan tetapi memiliki SDA yang cocok untuk pengembangan peternakan. Memiliki lahan terbuka cukup luas lebih kurang sekitar 2.000 ha.


Jenis tanah sesuai untuk ditanami hijauan makanan ternak. Lahan tersebut apabila dibiarkan akan berdampak kurang baik terhadap lingkungan (terjadi erosi, lahan yang ditumbuhi alang-alang berpotensi menimbulkan kebakaran hutan) dan tidak memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat sekitarnya.


Lahan di kawasan ini pada umumnya tingkat kesuburannya sangat rendah, sehingga kurang cocok untuk dikembangkan untuk tanaman hortikultura dan perkebunan. Akibatnya pertumbuhan penduduk sangat lambat dan banyaknya penduduk bermigrasi ke daerah yang lebih subur. Jumlah penduduk 5.650 jiwa dengan kapadatan penduduk rata-rata 4 jiwa/km. Penghasilan utama penduduk adalah bersawah dan beternak tradisional dan lebih besar persentasenya merupakan buruh ternak.


Model peternakan yang diterapkan masih tradisional tanpa sentuhan teknologi sama sekali. Ternak yang dipelihara dengan dilepas begitu saja dengan mengkonsumsi rumput alam. Pilihan program pengembangan peternakan dengan pola Village Breeding Center (VBC) sangat cocok diterapkan diwilayah ini. Juga didukung dengan sumber air cukup yang perlu dimanajemen baik dengan pembangunan irigasi maupun teknologi pengelolaan air lainnya.


Seiring dengan pengembangan agribisnis peternak, peluang berkembangnya agrowisata sangat potensial di kawasan ini. Situs-situs sejarah awal cerita kerajaan Linge dan kerajaan Aceh dapat ditemui dikawasan ini. Suguhan landscape dengan panorama yang luar biasa serta belahan sungai yang potensial untuk arung jeram bagi para pemula sangat mudah dijangkau. Persawahan yang dikelola dengan pola tradisional masih dapat disaksikan.

Deres Air Nira (Wehni Pangoh)

18 Januari 2008

15 Januari 2008

Peternakan Terpadu Ketapang Buat Blog dan Buku

Peternakan Terpadu Ketapang Diperkenalkan di Dunia Maya

*Sebuah Buku Perkembangan Ketapang Juga Dibuat

Takengon- Peternakan Terpadu Ketapang yang dimulai sejak tahun 2004 yang terletak di daerah Waq Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah dan merupakan daerah pengembalaan tradisional (Peruweren) sudah mulai menunjukkan hasil menggembirakan.

Hasil positip tersebut , kata Khalisuddin .S.Pt, Sabtu (12/1) , salah seorang pegawai Dinas Peternakan dan Perikanan , ditandai dengan sudah mulainya beranak puluhan ekor sapi. Dikatakan Khalissudin, saat ini 100 Kepala Keluarga dari 14 Kecamatan di Aceh Tengah telah menempati kawasan.

“Ketapang sudah menjadi sebuah komunitas baru peternakan moderen dan terpadu sesuai dengan keinginan Pemda”, sebut Khalisuddin. Secara bertahap, lanjut Khalis, perkembangan Ketapang tidak saja terlihat dari jumlah sapi yang terus bertambah, namun juga dari sektor pertaniannya sudah menjadi kawasan pertanian baru yang menanam berbagai jenis komoditi untuk keperluan peternak.

Di kawasan Ketapang juga terdapat sebuah Sekolah Dasar, Pusat Kesehatan Hewan dan sejumlah kebutuhan dasar lainnya. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan Peternakan Terpadu Ketapang, Pemda melalui Dinas Peternakan dan Perikanan juga sudah membuat sebuh blog khusus yang menunjukkan perkembangan Peternakan Terpadu Ketapang di dunia maya.

“Ide pembuatan blog khusus bagi Ketapang adalah upaya memperkenalkan Peternakan Ketapang ke dunia Internasional sebagai promosi potensi daerah. Selain itu untuk menunjang kemajuan Peternakan Ketapang dengan sumbang saran dari berbagai pihak agar Ketapang menjadi sebuah kawasan yang moderen dimasa depan”, sebut Khalis.

Dikatakan Khalis, masyarakat dapat melihat tentang Ketapang secara rinci di blog, voice-of-linge.blogspot.com. Dalam blog ini secara berkala semua perkembangan Peternakan Terpadu Ketapang akan diinformasikan secara lengkap.

Selain membuat blog, saat ini, lanjut Khalis, juga sedang dibuat sebuah buku tentang Ketapang yang nantinya diharap mampu menjadi media promosi Ketapang. Buku tersebut dilengkapi dengan gambar dan keterangan profile Ketapang.

Rencananya, sebut Khalis, buku Peternakan Terpadu Ketapang berjudul “Visiklopedia Peternakan Terpadu Ketapang”. Buku tersebut kini sedang dalam proses penyelesaian.

Seperti direncanakan bupati Aceh Tengah , Ir.H,Nasaruddin, MM, ungkap Khalis, Peternakan Terpadu Ketapang kedepannya nanti selain menjadi kawasan peternakan Moderen dan sumber pengadaan daging ternak, juga menjadi kawasan pertanian baru dan bahkan daerah Agrowisata karena berada dijalur jalan Negara Takengon-Gayo Lues (ashaf)

Web dan Buku Ketapang Dibuat

Peternakan Terpadu Ketapang Diperkenalkan di Dunia Maya

*Sebuah Buku Perkembangan Ketapang Juga Dibuat

Takengon- Peternakan Terpadu Ketapang yang dimulai sejak tahun 2004 yang terletak di daerah Waq Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah dan merupakan daerah pengembalaan tradisional (Peruweren) sudah mulai menunjukkan hasil menggembirakan.

Hasil positip tersebut , kata Khalisuddin .S.Pt, Sabtu (12/1) , salah seorang pegawai Dinas Peternakan dan Perikanan , ditandai dengan sudah mulainya beranak puluhan ekor sapi. Dikatakan Khalissudin, saat ini 100 Kepala Keluarga dari 14 Kecamatan di Aceh Tengah telah menempati kawasan.

“Ketapang sudah menjadi sebuah komunitas baru peternakan moderen dan terpadu sesuai dengan keinginan Pemda”, sebut Khalisuddin. Secara bertahap, lanjut Khalis, perkembangan Ketapang tidak saja terlihat dari jumlah sapi yang terus bertambah, namun juga dari sektor pertaniannya sudah menjadi kawasan pertanian baru yang menanam berbagai jenis komoditi untuk keperluan peternak.

Di kawasan Ketapang juga terdapat sebuah Sekolah Dasar, Pusat Kesehatan Hewan dan sejumlah kebutuhan dasar lainnya. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan Peternakan Terpadu Ketapang, Pemda melalui Dinas Peternakan dan Perikanan juga sudah membuat sebuh blog khusus yang menunjukkan perkembangan Peternakan Terpadu Ketapang di dunia maya.

“Ide pembuatan blog khusus bagi Ketapang adalah upaya memperkenalkan Peternakan Ketapang ke dunia Internasional sebagai promosi potensi daerah. Selain itu untuk menunjang kemajuan Peternakan Ketapang dengan sumbang saran dari berbagai pihak agar Ketapang menjadi sebuah kawasan yang moderen dimasa depan”, sebut Khalis.

Dikatakan Khalis, masyarakat dapat melihat tentang Ketapang secara rinci di blog, voice-of-linge.blogspot.com. Dalam blog ini secara berkala semua perkembangan Peternakan Terpadu Ketapang akan diinformasikan secara lengkap.

Selain membuat blog, saat ini, lanjut Khalis, juga sedang dibuat sebuah buku tentang Ketapang yang nantinya diharap mampu menjadi media promosi Ketapang. Buku tersebut dilengkapi dengan gambar dan keterangan profile Ketapang.

Rencananya, sebut Khalis, buku Peternakan Terpadu Ketapang berjudul “Visiklopedia Peternakan Terpadu Ketapang”. Buku tersebut kini sedang dalam proses penyelesaian.

Seperti direncanakan bupati Aceh Tengah , Ir.H,Nasaruddin, MM, ungkap Khalis, Peternakan Terpadu Ketapang kedepannya nanti selain menjadi kawasan peternakan Moderen dan sumber pengadaan daging ternak, juga menjadi kawasan pertanian baru dan bahkan daerah Agrowisata karena berada dijalur jalan Negara Takengon-Gayo Lues (ashaf)

14 Januari 2008

Takengon Sentra Pengembangan Sapi Bali Aceh


Penduduk Aceh Tengah Jadi Pengembang Sapi Bali di Aceh

Takengon- Hingga saat ini sapi bali terus berkembang pesat di Takengon. Awalnya, ujar Wiknyo (55) , Senin (14/1) , Penduduk Paya Tumpi yang juga sudah beternak sapi sejak 1983, Sapi Bali dikembangkan oleh Dinas Peternakan Aceh Tengah tahun 1993.

Sejak saat itu, sapi bali maju pesat di Takengon dengan sistim bagi anak antara Pemda dan Peternak. Kini, perkembangan sapi bali sudah demikian populer hingga yang menjadi peternak bukan saja petani peternak tapi juga kalangan pegawai negeri dan swasta di Aceh Tengah.

Saat ini, selain Dinas Peternakan dan Perikanan yang mengembangkan sapi bali di Takengon dan Peternakan Terpadu Ketapang, kalangan masyarakat juga sudah membiasakan diri mengembangkan ternak yang perawatan dan perkembangannya sangat mudah.

Seperti disebutkan Hanipan, seorang guru SD yang memlihara tiga ekor sapi bali. Menurut Hanipan, memelihar sapi bali sangat mudah dan setiap sembilan bulan sekali dipastikan beranak.

Kemudahan lain beternak sapi bali, menurut guru SD yang tinggal di Dusun Paya Serngi Kecamatan Kebayakan ini adalah, sapi bali memakan hamper semua jenis rumput ssehingga mudah dipelihara.

Apalagi tambah Hanipan, harga sapi bali setiap tahunnya terus naik. Saat ini harga sapi bali jenis betina berumur delapan bulan keatas, dijual Rp.4-7 juta/ekor, tergantung besar sapinya. Sementara harga sapi bali jantan bisa lebih tinggi.

Sementara itu, seorang pedagang sapi bali, Ihksan Aman Rizki, harga sapi bali terus naik. Saat ini, sapi bali yang diberikan untuk korban konplik dan sudah diperjualbelikan, dipatok harganya antara Rp.3-5 juta/ekor.

“Sapi bali dari Takengon, saat ini banyak diminati di Bener Meriah dan juga dibawa ke Kabupaten Gayo Lues”, sebut Ikhsan. Dikatakan Ikhsan yang juga Kepala Kampung Paya Serngi, permintaan akan sapi bali terus meningkat setiap saat.

Salah satu penyebab warga suka beternak sapi bali di Takengon, menurut Wiknyo disebabkan karena kesesuaian dan ketersediaan pakan ternak yang cukup. Selain itu, setiap tahun sapi bali tetap berproduksi sehingga dapat dijadikan sumber perekonomian petani setiap tahunnya untuk kebutuhan sekolah dan kebutuhan lainnya.

Wiknyo mengasumsikan, jika setiap kepala keluarga diseputaran pinggiran Kota Takengon memiliki dua induk sapi bali, maka setiap tahun dispatikan dapat menghasilkan tidak kurang dari Rp.10 juta.

Namun berdasarkan pengamatan Rakyat Aceh, masih banyak warga Takengon yang memelihara sapi bali yang belum menyediakan kandang sapi sesuai standar. Dan bahkan ada yang tidak diberi kandang, namun dibiarkan dilapangan atau didekat rumah peternak.

Begitu juga makanan tambahan untuk sapi bali tidak pernah diberikan, kecuali hanya rumput semata. Seorang pegawai peternakan Aceh Tengah, drh. Rahmandi, mengatakan, kebanyakan peternak di Takengon masih belum mengelola ternak secara standar atau professional.

Sehingga menurut drh. Rahmandi, pola seperti ini disebutnya dengan istilah setengah penganiayaan pada ternak. Karena masih ada kandang ternak yang tidak disemen sehingga ternak tidur diatas Lumpur kandang.

“Minimal, kandangnya diberi alas papan atau semen demi menjaga kebersihannya. Begitu juga dengan makanan tambahan dan suplemen lainnya. Jika kebutuhan standar ternak tidak dipenuhi, ini sama dengan penganiayan ternak”, sebut drh Rahmandi sambil tertawa.

Saat ini ada ribuan sapi bali yang dipelihara diseputaran Kota Takengon , seperti di Kecamatan, Bebesen, Kebayakan, Bintang, Lauttawar, Jagong dan sejumlah Kecamatan lainnya. Sapi bali sudah menjadi komoditi andalan selain kopi sebagai sumber perekonomian warga. (www.gayolinge.com/ashaf-sumber)

09 Januari 2008

Sapi Di Ketapang


07 Januari 2008

Pengelolaan Ketapang Harus Dilakukan Serius

Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM meminta dinas terkait termasuk petani ternak untuk bekerja serius mengelola peternakan di kawasan Ketapang, Kecamatan Linge. Tujuan dibukanya kawasan Ketapang sebagai areal pengembangan ternak adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya petani ternak.

Permintaan itu disampaikan Nasaruddin dalam kunjungan silaturahminya dengan para peternak Ketapang Sabtu, (5/1) lalu. Rombongan bupati selain didampingi oleh beberapa dinas terkait dan beberapa anggota DPRK Aceh Tengah.

Sisi lain Nasaruddin mengakui, program pengembangan peternakan jenis sapi di areal Ketapang masih membutuhkan beberapa fasilitas pendukung. Namun dia menyebutkan, fasilitas pendukung seperti air bersih dan sarana penerangan listrik itu dalam tahun 2008 ini akan segera terealisir. Di areal pengembangan peternakan Ketapang rinci Nasaruddin pihaknya merencanakan akan mengembangkan sebanyak 1500 ekor sapi. Saat ini dari 100 orang petani ternak yang telah menempati kawasan itu sebanyak 750 ekor telah mulai menunjukkan perkembangannya.

Nasaruddin selain berdialog dengan para peternak juga menyempatkan diri untuk berkeliling mengunjungi ternak sapi yang telah dipelihara oleh para peternak. Kepada para wartawan yang menyertai kunjungan itu, Nasaruddin berkali-kali menegaskan bahwa sasaran pengembangan peternakan itu adalah untuk meningkatkan perekonomian para peternak. Makanya, untuk urusan masalah pengembangan peternakan di kawasan Ketapang dia meminta baik dinas terkait maupun para peternak untuk tidak main-main.

Secara rinci orang nomor satu di daerah dataran tinggi Gayo itu menyebutkan, areal pengembangan peternakan di Ketapang, Kecamatan Linge memiliki luas 210 hektar. Pemda Aceh Tengah akan terus menambah ternnak dan jumlah petani ternak untuk menempati kawasan Ketapang.

Program pengembangan peternakan menurut Nasaruddin tidak mengganggu alam sekitarnya seperti penebangan pohon. Karena program pengembangan peternakan memanfaatkan lahan tandus yang ada. Keuntungan lainnya, adanya pengembangan peternakan sekaligus membuka keterisoliran kawasan tersebut. Dalam pengembangan peternakan di Ketapang, Pemda Aceh Tengah mengucurkan dana yang bersumber dari APBD daerah setempat, APBD dari Provinsi NAD dan bantuan pusat.

Digulirkannya pengembangan peternakan di Ketapang karena selama ini kebutuhan akan daging untuk daerah itu dirasakan masih sangat kurang terutama saat menjelang hari-hari besar islam. Ia mencontohkan, Aceh Tengah yang memiliki sebanyak 266 kampung, bila setiap kampung membutuhkan 3 ekor sapi atau kerbau dalam setiap tahunnya, maka dibutuhkan sebanyak 798 ekor sapi atau kerbau. Sementara harga daging yang berlaku saat ini di pasaran Aceh Tengah mencapai Rp 80 ribu per kilo gram.

Salah seorang anggota DPRK Aceh Tengah, Banta Mude, SE yang turut dalam rombongan itu menyebutkan, ketersedian pakan yang cukup dan sarana air bersih yang memadai cukup mendukung pengembangan ternak di kawasan Ketapang.

Hal tersebut juga diakui oleh Nasruddin (37) petani ternak di Ketapang, bahwa dalam memelihara ternak jenis sapi Bali itu, para peternak sangat membutuhkan sarana air bersih. Disamping untuk kebutuhan ternak, juga untuk kebutuhan para peternak.

Dalam kunjungan tersebut, Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM menyerahkan bantuan untuk pembangunan lima buah musholla masing-masing Rp 2,5 juta dan bibit tanaman penghijauan seperti bibit pinus sebanyak 40 batang, mahoni sebanyak 25 batang, trembesi 25 batang dan durian 100 batang.

Bupati Berbincang Dengan Anak Dari Peternak

Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM sedang berbincang bincang dengan seorang anak yang tinggal di peternakan ketapang, sabtu (05/01)

06 Januari 2008

ketapang

Bupati Aceh Tengah sedang meninjau lokasi peternakan ketapang, sabtu (1/05)