14 Januari 2008

Takengon Sentra Pengembangan Sapi Bali Aceh


Penduduk Aceh Tengah Jadi Pengembang Sapi Bali di Aceh

Takengon- Hingga saat ini sapi bali terus berkembang pesat di Takengon. Awalnya, ujar Wiknyo (55) , Senin (14/1) , Penduduk Paya Tumpi yang juga sudah beternak sapi sejak 1983, Sapi Bali dikembangkan oleh Dinas Peternakan Aceh Tengah tahun 1993.

Sejak saat itu, sapi bali maju pesat di Takengon dengan sistim bagi anak antara Pemda dan Peternak. Kini, perkembangan sapi bali sudah demikian populer hingga yang menjadi peternak bukan saja petani peternak tapi juga kalangan pegawai negeri dan swasta di Aceh Tengah.

Saat ini, selain Dinas Peternakan dan Perikanan yang mengembangkan sapi bali di Takengon dan Peternakan Terpadu Ketapang, kalangan masyarakat juga sudah membiasakan diri mengembangkan ternak yang perawatan dan perkembangannya sangat mudah.

Seperti disebutkan Hanipan, seorang guru SD yang memlihara tiga ekor sapi bali. Menurut Hanipan, memelihar sapi bali sangat mudah dan setiap sembilan bulan sekali dipastikan beranak.

Kemudahan lain beternak sapi bali, menurut guru SD yang tinggal di Dusun Paya Serngi Kecamatan Kebayakan ini adalah, sapi bali memakan hamper semua jenis rumput ssehingga mudah dipelihara.

Apalagi tambah Hanipan, harga sapi bali setiap tahunnya terus naik. Saat ini harga sapi bali jenis betina berumur delapan bulan keatas, dijual Rp.4-7 juta/ekor, tergantung besar sapinya. Sementara harga sapi bali jantan bisa lebih tinggi.

Sementara itu, seorang pedagang sapi bali, Ihksan Aman Rizki, harga sapi bali terus naik. Saat ini, sapi bali yang diberikan untuk korban konplik dan sudah diperjualbelikan, dipatok harganya antara Rp.3-5 juta/ekor.

“Sapi bali dari Takengon, saat ini banyak diminati di Bener Meriah dan juga dibawa ke Kabupaten Gayo Lues”, sebut Ikhsan. Dikatakan Ikhsan yang juga Kepala Kampung Paya Serngi, permintaan akan sapi bali terus meningkat setiap saat.

Salah satu penyebab warga suka beternak sapi bali di Takengon, menurut Wiknyo disebabkan karena kesesuaian dan ketersediaan pakan ternak yang cukup. Selain itu, setiap tahun sapi bali tetap berproduksi sehingga dapat dijadikan sumber perekonomian petani setiap tahunnya untuk kebutuhan sekolah dan kebutuhan lainnya.

Wiknyo mengasumsikan, jika setiap kepala keluarga diseputaran pinggiran Kota Takengon memiliki dua induk sapi bali, maka setiap tahun dispatikan dapat menghasilkan tidak kurang dari Rp.10 juta.

Namun berdasarkan pengamatan Rakyat Aceh, masih banyak warga Takengon yang memelihara sapi bali yang belum menyediakan kandang sapi sesuai standar. Dan bahkan ada yang tidak diberi kandang, namun dibiarkan dilapangan atau didekat rumah peternak.

Begitu juga makanan tambahan untuk sapi bali tidak pernah diberikan, kecuali hanya rumput semata. Seorang pegawai peternakan Aceh Tengah, drh. Rahmandi, mengatakan, kebanyakan peternak di Takengon masih belum mengelola ternak secara standar atau professional.

Sehingga menurut drh. Rahmandi, pola seperti ini disebutnya dengan istilah setengah penganiayaan pada ternak. Karena masih ada kandang ternak yang tidak disemen sehingga ternak tidur diatas Lumpur kandang.

“Minimal, kandangnya diberi alas papan atau semen demi menjaga kebersihannya. Begitu juga dengan makanan tambahan dan suplemen lainnya. Jika kebutuhan standar ternak tidak dipenuhi, ini sama dengan penganiayan ternak”, sebut drh Rahmandi sambil tertawa.

Saat ini ada ribuan sapi bali yang dipelihara diseputaran Kota Takengon , seperti di Kecamatan, Bebesen, Kebayakan, Bintang, Lauttawar, Jagong dan sejumlah Kecamatan lainnya. Sapi bali sudah menjadi komoditi andalan selain kopi sebagai sumber perekonomian warga. (www.gayolinge.com/ashaf-sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar