14 Desember 2008

Anjing Rabies Gigit Lima Warga Gayo

Khalisuddin The Globe Journal
Takengon – Lima warga Takengon secara beruntun digigit anjing pada Sabtu (13/12). Gigitan beruntun dimulai sejak pukul 05.00 WIB di kawasan Pasar Bawah Kampung Baru Kecamatan Lut Tawar yang berjarak sekitar 300 meter dari Pendopo Bupati Aceh Tengah. Seorang korban, Latansari (54) warga kampung Asir-asir Asia melalui anaknya Fadhlan (28) menyatakan kekesalannya terhadap kasus ini. Pihak terkait hampir tidak pernah melakukan upaya pencegahan kasus anjing ini. Mereka hanya urus setelah ada kasus gigitan anjing. Itu pun bila anjing dapat ditangkap dan diserahkan kepada mereka, upaya-upaya pencegahan lainnya tidak pernah dilakukan, papar Fadhlan.
Koordinator Rabies Center 6 kecamatan (Lut Tawar, Kebayakan, Bebesen, Pegasing, Kute Panang dan Bintang) yang berposko di Puskesmas Kota Takengon, Supriati (33) menjelaskan bahwa lima korban digigi oleh anjing yang diduga menderita rabies itu telah disuntik Vaksin Anti Rabies (VAR). Suntikan ini harus dilakukan sebanyak 3 kali secara periodik setiap 7 hari, jelas Supriati.
Kepada masyarakat Supriati menghimbau agar segera mencuci bekas gigitan anjing selama 15 menit pakai sabun dan air mengalir. Perlakuan ini mengurangi 75 % resiko Rabies. Lebih lanjut Supriati memaparkan bahwa di tahun 2007 terjadi 98 kasus rabies dan 95 % positive rabies. Di tahun 2008 ditangani 80-an kasus gigitan. Angka ini belum termasuk kasus di kecamatan lainnya dalam Kabupaten Aceh Tengah, pungkas Supriati.
Secara terpisah, kepada The Globe Journal Kabid Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Kabupaten Aceh Tengah, Drh. Rahmandi mengaku sudah mengirimkan sample otak kecil anjing yang menggigit kelima warga tersebut ke Balai Penelitian Penyakit Veteriner (BPPV) Medan untuk di uji laboratorium apakah anjing tersebut terserang virus rabies atau tidak. Menurut Rahmandi, pihaknya telah melakukan upaya pencegahan dengan vaksinasi massal terhadap anjing masyarakat seperti di Kampung Ponok Balik Kecamatan Ketol beberapa hari lalu. Pada kamis, 18 Desember 2008 kita akan mengadakan Eliminisasi (peracunan) terhadap anjing liar diseputar Pasar Ikan dan Rumah Sakit datu Beru Takengon.
Menurut Rahmandi yang menjadi kendala adalah kurangnya partisifasi masyarakat untuk mengubur anjing yang mati. ”Kita selalu mendapat kecaman pasca eliminisasi karena banyaknya bangkai anjing yang tidak dikubur,” ungkap Rahmandi. Pantauan The Globe Juornal, anjing-anjing tanpa pemilik berkeliaran bebas seputar kota Takengon di kawasan Pasar Ikan, Pasar Inpres dan kawasan RSU Datu Beru. Pada malam hari anjing-anjing ini biasa tidur di Halaman Cool Storage samping BRI Takengon yang hanya 100 meter dari Gedung DPRK Aceh Tengah.[003]

12 Desember 2008

Tidak Transparan Ganti Rugi Jalan Lingkar Paya Tumpi

Khalisuddin The Globe Journal
Takengon - Pemerintah Aceh Tengah dinilai tidak transparan dalam prosesi pembebasan tanah masyarakat yang terkena pembangunan jalan baru Paya Tumpi-Paya Ilang yang menurut informasi bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Tahun Anggaran 2008 serta dana Sharing dari APBK Aceh Tengah. Jalan itu merupakan jalan elak dari pintu gerbang Kota Takengon menuju lokasi Terminal Terpadu Paya Ilang yang diprogram pada Bupati Aceh Tengah Mustafa M Tamy.
Seorang Warga Kebet AS Kobat (76) kepada The Globe Journal Jumat (12/12) mengungkapkan rasa sesalnya terhadap sikap Pemda Aceh Tengah yang terkesan tertutup. "Memang kami pernah diundang ke Opsroom beberapa minggu lalu untuk sosialisasi, akan tetapi saat itu tidak diungkap harga yang ditawarkan. Anehnya aparatur resmi pemerintahan di tingkat desa menyebarkan isu dengan menebarkan blangko Surat Pernyataan pada 27 Nopember yang lalu dengan isi diantaranya harga tanah kami dinilai Rp 150.000 per meter pukul rata. Cara ini jelas mengundang keresahan dimasyarakat, papar Kobat.
Menurut pantauan, harga tanah disepanjang rencana pembangunan jalan tersebut memang bervariasi. Di beberapa titik pas dinilai Rp 150.000 per meter dan malah diuntungkan. Akan tetapi di bagian strategis seperti tanah milik Kobat dan beberapa warga lainnya harga ini jauh lebih rendah dari harga jual pasaran disana saat ini yakni mencapai Rp. 400.000 per meter Kobat menyatakan mendukung program ini sebab sangat penting untuk kemajuan Aceh Tengah. Tapi kami bermohon agar pengambil kebijakan lebih arif dalam mensosialisasikan program ini. Mungkin dengan pendekatan persuasif sikap kami akan lebih terbuka dan tidak kaget. Dengan cara yang sekarang ditempuh tentu aparatur kampung ini akan menjadi cercaan masyarakat dan dianggap calo. Hal ini tentu tidak perlu terjadi.
Koordinator JANGKO (Jaringan Anti Korupsi Gayo), Hamdani yang diminta tanggapannya pada Jumat (12/12) menyatakan pihaknya telah menerima tembusan surat pernyataan yang ditandatangani beberapa warga Kebet (7/12) yang antara lain berisi dukungan terhadap program pembukaan jalan akan tetapi dengan tegas meminta pihak Pemda Aceh Tengah untuk mempertimbangkan kembali harga yang diissuekan oleh aparat Kampung Kebet tersebut. ”Kami akan dampingi warga tersebut hingga tercapai kesepakatan antara warga dan Pemda. Sementara ini kami masih pelajari kasus ini,” tegas Hamdani.
Lebih lanjut Hamdani menyatakan kekecewaannya dengan pola yang diterapkan oleh Pemda Aceh Tengah yang tidak profesional yakni dengan cara menebarkan blangko surat pernyataan untuk ditandatangi oleh warga. Blangko tersebut tanpa sumber jelas pengirimnya, akan tetapi jelas dapat dibuktikan dari tangan siapa blangko tersebut mulai beredar. ”Beberapa warga malah sudah setuju dan menandatangani isi blangko tersebut”, pungkas Hamdani.[003]

04 Desember 2008

Sapi Bali di Aceh Tengah

Diawali sejak tahun 1983, Almarhum M. Beni Banta Cut selaku Bupati waktu itu membawa 6 ekor sapi Bali ke Aceh Tengah dan diternakkan di Desa Paya Tumpi Kecamatan Lut Tawar. Selanjutnya tahun 1994, Program Bantuan Presiden (Banpres) melalui Pemerintah Provinsi DI. Aceh menyalurkan 100 ekor sapi Bali di beberapa tempat di Aceh Tengah antara lain di Belang Gele, Pedemun, Toweren, Pinangan, Umang dan Jagong Jeget. Yang bertahan sampai sekarang adalah di Jagong Jeget, Paya Tumpi dan Pinangan, sedang di kampung lainnya tidak berhasil. Saat itu bibit sapi Bali (bos javanicus) didatangkan dari Nusa Penida Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dikenal sebagai sentra produksi sapi Bali di Indonesia, hal tersebut diungkapkan Abdul Kadir, SP, Kabid Produksi dan Usaha Dinas Perikanan dan Peternakan kabupaten Aceh Tengah. “Pak Beni merupakan tokoh peternakan Sapi Bali di Aceh Tengah” cetus Abdul Kadir.

Faktor kegagalan utama perkembangan sapi bali di Aceh Tengah sebelumnya diakibatkan konflik Aceh yang berkepanjangan yang berakibat para peternak kesulitan dalam menafkahi keluarga sehingga ternak-ternak yang mereka miliki dijual untuk menopang hidup waktu itu. Akibat Eksodus yang terjadi juga menjadi penyebab utama, masyarakat dari pedalaman cenderung berpindah mencari tempat yang aman yang tentunya membutuhkan biaya, tempat yang baru belum tentu cocok untuk beternak sapi Bali, papar Abdul Kadir.

Pada era sebelum konplik Aceh 1998-2000, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tengah sudah cukup signifikan disetorkan ke Kas Pemda sebut Abdul Kadir tanpa menyebut jumlahnya.

Populasi sapi Bali di Aceh Tengah kini mencapai 4000-an ekor belum termasuk sapi Program Ketapang, jumlah ini dirinci 800-1000-an ekor sapi Bali milik masyarakat sendiri dan sekitar 3000-an ekor bantuan sosial tahun 2006 yang lalu sebut Abdul Kadir. Angka ini berdasarkan perkiraan saja, pasca konplik kita belum memperoleh data valid tambahnya.

Sapi Pelopor
Sebutan sang Pelopor merupakan sebutan populer bagi sapi Bali, hal ini karena kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Dengan pemeliharaan seadanya atau dilepas di padang penggembalaan sapi Bali dapat menghasilkan pertambahan berat badan sampai 0,3 – 0,5 kg perhari dan mencapai 0,8 kg bila dilakukan pemeliharaan intensif dengan pola penggemukan di kandang, diberi pakan yang cukup ditambah dengan konsentrat.

Sapi Bali dinilai oleh sejumlah pakar peternakan mempunyai tingkat kesuburan tinggi, mampu melahirkan pedet 56 ekor tiap 100 ekor sapi betina. Interval kelahiran juga sangat singkat yakni 1 tahun lebih kurang. Sayangnya program Inseminasi Buatan (IB) atau lebih dikenal dengan Kawin Suntik belum dilakukan samasekali. Menurut Drh. Rahmandi, Kabid Kesehatan Hewan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Aceh Tengah tahun 2008 ini program IB mulai dilakukan.

Dari sekian banyak sapi local Indonesia termasuk sapi Aceh, sapi Bali dinilai beberapa kalangan memiliki karakteristik yang lebih baik, disamping kemampuan beradaptasi juga keunggulan-keunggulan lain seperti calving interval (masa birahi) yang lebih pendek, perawatannya juga lebih sederhana serta lebih jinak dibanding sapi lain. “Performance phisiknya juga lebih menarik” jelas Rahmandi.

Penyakit
Kelemahan sapi Bali adalah peka terhadap beberapa penyakit tertentu. Yang pertama penyakit ingusan (snot ziekte) atau malignant catarrhal fever (MCF). Di antara ras sapi, sapi Bali paling peka terhadap infeksi virus MCF. Penyakit ini tidak menular dari sapi ke sapi, tetapi virus penyebabnya ditularkan domba (biri-biri) yang bertindak sebagai pembawa virus, tanpa menderita sakit. Gejala sebelum kematian tidak tampak sama sekali, jelas Drh. Rahmandi. Pencegahannya sederhana tapi agak sulit karena harus berhadapan dengan masyarakat pemilik ternak domba, “Sapi Bali jangan bergabung dengan domba dalam satu kawasan, itu saja”, tegas Rahmandi. Di Kawasan Peternakan Ketapang yang berbatasan langsung dengan Kampung Owaq, kita sudah lakukan program depopulasi domba. Sebelumnya cukup banyak masyarakat yang memelihara domba. “Suatu kegilaan bila sapi Bali berdampingan dengan biri-biri”, tegasnya.

Pantauan Tabloid Sipil, dibeberapa daerah di Aceh Tengah seperti di kampung Mungkur dan Linge kecamatan Linge, pihak BRR regional III menyalurkan sapi Bali di kawasan dimana domba masih berkeliaran disana sini. Dari keterangan penduduk sapi-sapi Bali bantuan tersebut sebagian besar sudah mati.
Drh Rahmandi, pegawai Peternakan Aceh Tengah menyebutkan, Tahun 1964 muncul suatu wabah penyakit baru yang dikenal sebagai penyakit jembrana. Penyakit ini sangat fatal pada sapi Bali, tetapi sapi lain lebih tahan. Puluhan ribu sapi Bali di Bali mati dalam tempo singkat ketika wabah pertama timbul. Baru pada tahun 1991, sebuah tim penyidik berhasil mengidentifikasi virus lenti sebagai penyebab penyakit jembrana. Virus ini masih satu famili dengan (virus) HIV, penyebab penyakit AIDS pada manusia, mudah-mudahan di daerah kita penyakit ini jangan sampai menjangkiti ternak masyarakat papar Rahmandi berharap.
Rahmandi menambahkan bahwa Penyakit lain bernama Bali Ziekte karena banyak ditemukan pada sapi bali. Penyakit disebabkan oleh tanaman yang mampu merusak sel-sel hati (hepatotoksik) dan menimbulkan dermatitis fotosensitisasi. Pada musim kemarau, apabila hijauan makanan ternak langka, sapi Bali akan makan tanaman yang tidak lazim dimakan. Karenanya saat menjelang musim kemarau sebaiknya ternak sapi Bali diawasi dan dipelihara dengan baik terutama menyangkut penyediaan pakan, jelas Rahmandi.
Menyangkut penyakit yang biasa menyerang sapi Bali berupa penyakit Sura dan Brucellosis serta penyakit internal lainnya tapi masih dalam stadium yang tidak membahayakan. Jelas Rahmandi. Kasus penyakit dan berakibat kematian sangat minim, kalaupun ada kematian biasanya disebabkan karena salah penanganan oleh peternak sendiri misalnya terlambat melapor kepada petugas medis sehingga terlambat untuk ditangani. Sangat jarang terjadi kematian ternak bila peternaknya telaten, pungkas Rahmandi.

Peternak ketagihan
Salah seorang peternak, Amrozi (45) penduduk Desa Pinangan mengaku merupakan peternak yang memelihara sapi Bali di Aceh Tengah untuk pertama kali tahun 1997, dan memelihara ternaknya dengan pola perbibitan yakni dengan menjual anak sapi (pedet) sebagai sumber penghasilan. Menurutnya ternak bibit yang diperolehnya berjumlah 2 ekor dengan pola terima 1 kembali 2 dan telah mengembalikan hasil ternak pemerintah tersebut sejumlah 10 ekor, artinya Amrozi sudah memperoleh anak sapi sejumlah 15 ekor keturunan sapi Bali. Kini Amrozi memelihara 3 ekor, dan dia tidak memaksakan diri untuk memelihara lebih banyak karena beternak merupakan usaha sampingan.

Seorang peternak lain di Kampung Paya Serngi Kecamatan Kebayakan, Aman Shafa (40) mengaku ketagihan memelihara sapi Bali yang ditekuni sejak tahun 2004 yang lalu. Menurut Aman Shafa , hal ini disebabkan setiap tahun harga jual jenis sapi bali terus meningkat. Selain itu, setiap sembilan bulan sekali, sapi bali dipastikan sudah beranak. “Seekor sapi bali berumur 8 bulan saat ini dibeli Rp.5-6 juta”, tegas Aman Shafa yang saat ini memelihara delapan ternak dan dipelihara oleh tetangganya yang dianggap kurang mampu dengan sistim bagi hasil.

Dikatakan Aman Shafa beternak sapi bali sangat ideal bagi masyarakat Aceh Tengah karena tersedianya pakan yang cukup disekitar tempatnya tinggal yang masih banyak terdapat lahan tidur.

Selain itu, lanjut Aman Shafa sapi bali sangat mudah dipelihara dan tidak rewel. “Tanpa kandang sekalipun, sapi bali masih dapat menghasilkan anak setiap sembilan bulan”, tambah Aman Shafa.

Boy Abimayu (37) warga Paya Tumpi Kecamatan Kebayakan memelihara 4 ekor betina dan 2 ekor jantan, dalam setahunnya minimal bertambah 4 ekor anak sapi (pedet). Biasanya saya langsung jual pedet betina bila umurnya sudah 1 tahun lebih seharga minimal 4 juta rupiah, dan jantan dihargai lebih dari 5 juta perekor, ungkap Boy.

Jual beli sapi Bali sampai saat ini cenderung masih untuk dipelihara kembali, belum untuk dipotong, kecuali sifatnya potong paksa karena sakit membahayakan nyawa sapi itu sendiri.

Frekuensi Pemotongan
Petugas Rumah Potong Hewan dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Aceh Tengah, Hadi Isra dalam keterangan kepada mingguan ini menyatakan bahwa setiap bulannya sapi Bali dipotong di RPH Takengon sangat sedikit hanya 1 ekor dalam sebulan. Lain halnya dengan kerbau mencapai 3 ekor perhari dan pada hari-hari besar Islam bisa lebih.
Masyarakat Aceh Tengah lebih menyukai daging kerbau ketimbang daging sapi, akan tetapi saat ini daging sapi Bali sudah mulai disukai walau masih kalah dengan daging Kerbau, jelas Hadi.

Harga daging di pajak daging Takengon saat ini Rp. 70.000,-/ kg baik daging kerbau maupun sapi. Di provinsi kita, NAD harga daging tertinggi di dunia, tambahnya.

Program nasional Swasembada Daging 2010 dan Sapi Bali di Peternakan Ketapang
Kawasan Peternakan Terpadu Ketapang merupakan ide visioner sebut DR. Luki Abdullah Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor saat berkunjung ke Ketapang tahun lalu. Prof. Soemitro dari FKH UGM Yogyakarta menyebutnya Gayo Great Farm (GGF) pada awal tahun 2007 lalu.

Sangat beralasan kedua pakar peternakan dari dua universitas ternama di Indonesia menyebutnya demikian. “Sejauh yang saya tau, belum pernah ada bupati yang berani buat program seperti ini” ujar Luki Abdullah di Ketapang dalam rangkaian kegiatan Workshop tiga universitas (IPB, Unsyiah dan Gouttingen Jerman pertengahan tahun 2007 lalu. Selanjutnya Luki katakan “Program ini harus didukung dan harus berhasil” tegasnya.

Kini 100 KK telah ditempatkan sebagai peternak dan telah diberi ternak 15 ekor per KK, sampai tahun 2007, 790-an ekor sapi Bali telah didistibusikan disana sejak tahun 2005 dari berbagai sumber baik pusat, provinsi maupun APBK Aceh Tengah. Kritik dan sorotanpun mengalir akibat anggapan program ini belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan sementara anggaran terus mengalir mencapai puluhan milyar.
Semua pihak kini menunggu akankah Program Ketapang mampu diposisi terdepan di Provinsi ini dalam menjawab tantangan Swasembada Daging 2010 ?. (Khalisuddin, S. Pt)