DR. Armiadi,M.Sc, seorang peneliti ternak dari IPB Bogor yang sedang pulang Kampung ke Takengon, berkesempatan mengunjungi Dusun Paya Serngi Kampung Timangan Gading Kecamatan Kebayakan. Dalam kunjungan ke Kampung di pinggiran Kota Takengon ini, DR. Armiadi diminta warga setempat untuk memberi penyuluhan tidak resmi terhadap pola peternakan sapi bali yang umum dilakukan warga setempat.Dalam kesempatan berdiskusi tersebut, Selasa (15/4) warga menceritakan pola beternak sapi bali dan makanan yang diberikan.
Setelah mendengar berbagai keluhan warga, menurut DR.Armiadi, peternak sapi bali di seputaran Takengon masih memakai pola tradisional.Dimana sapi hanya diikat kemudian sore harinya dikandangkan dengan memberi makanan tambahan rumput. “Rumput saja tidak cukup. Karena masih banyak zat kebutuhan sapi yang tidak terdapat dalam rumput hingga perlu diberi makanan tambahan dari unsur lain (mikro)”, ujar Armiadi pada sejumlah warga.Unsur selain rumput tersebut kata peneliti ternak dari IPB ini, bisa didapat dari makanan tambahan seperti dari Milton yang bisa didapat dan diperjualbelikan serta konsentrat.
Dikatakan Armiadi, petani yang memelihara ternak sejenis sapi bali telah menghasilkan keuntungan ganda.Keuntungan tersebut rinci Armiadi antara pupuk kandang yang dapat dipakai untuk pertanian warga serta kebutuhan lainnya. Seperti dijual yang dipakai untuk pupuk bunga.Setelah mengamati berbagai masukan dari warga peternak, Armiadi menyatakan bahwa pengetahuan dasar peternak tentang pemeliharaan ternak masih sangat kurang sehingga perlu diberi penyuluhan intensif agar pengelolaan ternak dapat dijadikan komoditas unggulan selain pertanian.Hanya saja, kata Armiadi, ternak bali tidak bisa disamakan pemeliharaannya dalam lokasi yang sama dengan domba karena bisa menimbulkan penyakit bagi sapi yang disebut MCF. “Virus ini sejenis virus HIV yang belum ada obatnya”, ujar Armiadi.
Di tempat yang sama, Khalisudin S.Pt, Pegawai Peternakan Aceh Tengah yang mendampingi Armiadi menyatakan, Kampung Paya Serngi selama ini sudah dikenal sebagai lokasi peternakan yang disebut VBC (Village Breeding Center) dan terus berkembang yang dilakukan oleh warga. “Dari 200 Kepala Keluarga, 95 diantaranya memiliki hewan peliharaan atau ternak”, ujar Khalis. Namun masih ditemukan beberapa kekurangan dalam pemeliharaan ternak, jelas Khalis, umpamanya, belum adanya kelompok tani ternak yang memudahkan pencapaian tujuan usaha ternak serta membuka akses ke pihak pemerintah maupun swasta. Selain itu, kekurangan lainnya adalah belum diterapkannya tehnologi pakan ternak dan management kandang yang baik.
Menyangkut kandang, kata Khalis, masih berpola sangat tradisonal bahkan dinilai setengah penganiayaan pada ternak. Karena banyak ternak yang meski mempunyai kandang namun dibiarkan tanpa lantai sehingga ternak berada dalam kubangan. “Masyarakat juga belum mempunyai Hijauan Makanan Ternak (HMT) unggul. Sehingga masih mengandalkan rumput alam (Native grass) saja. Imbuh Khalis.
Khalis menyarankan perlunya pengembangan dan penerapan tehnologi reproduksi ternak di Aceh Tengah seperti Inseminasi Buatan (IB) atau minimal pengaturan kawin alam yang lebih intensif . Menyinggung makanan tambahan atau konsentrat, menurut Khalisudin bahan bakunya cukup melimpah di Takengon, seperti, kulit kopi kering, ampas tebu dan limbah pertanian seperti batang jagung, kacanga-kacangan dan jerami padi (www.gayolinge.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar