17 Maret 2009

Foto-foto saat Ekskavasi

Lakukan Eksavasi : Badan Arkeologi (Balar) Medan lakukan serangkaian penggalian (eksavasi) arkeologi di tiga tempat di Aceh Tengah pada Jumat (6/3). Tim beranggotakan 15 orang ini melakukan eksavasi (penggalian) sejak 6-13 Maret mendatang di Rock Shelter (Ceruk) Mendale kecamatan Kebayakan, Loyang (gua) Peteri Pukes kecamatan Kebayakan dan Loyang Datu Kecamatan Linge. (Foto : Khalisuddin The Globe Journal)



Kerangka Manusia : Pada hari terakhir ekskavasi atau penggalian arkeologi (11/3), tim arkeolog Medan di Ceruk Mendale Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah ditemukan kerangka manusia . Perkiraan tim Arkeolog, kerangka manusia tersebut pernah hidup di zaman neolitik atau 3500 tahun lalu.
(Foto : Khalisuddin The Globe Journal )




Tembikar (Gerabah) : Penelusuran prasejarah dan pascasejarah yang dilakukan tim Arkeolog dari Balai Arkeologi Medan juga temukan tembikar (gerabah) di Ceruk Mendale (7/3). Temuan gerabah yang cukup halus menunjukkan indikasi kuat adanya kehidupan pasca prasejarah dengan lapisan budaya pada kedalaman sekitar 0,5 meter

(Foto : Khalisuddin The Globe Journal )



Alat Bantu Zaman Batu : Tim Arkeolog dari Medan temukan fitur prasejarah ”alat batu” di Ceruk Mendale dan Loyang (gua) Peteri Pukes Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah (10/3). Alat ini dikenal dengan sebutan "gigi petir" yang merupakan alat batu yang dipakai manusia di zaman neolitik atau sekitar 3500 tahun yang lalu. Penemuan ini merupakan yang pertama kali disepanjang kawasan Riau, Sumat
(Foto : Khalisuddin The Globe Journal )

3.500 Tahun Lalu, Gayo Sudah Dihuni Manusia

Khalisuddin The Globe Journal

Aceh Tengah - Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Medan dan dilanjutkan dengan eksplorasi pada 4 Juni -19 Juni 2007 di beberapa lokasi di Aceh Tengah dikeluarkan laporan penelitian hasil survey awal yang ditulis Nengsih Susilowati tahun 2007 silam bertajuk “Potensi Gua dan Ceruk di Kabupaten Aceh Tengah bagi Pengembangan Arkeologi dan Pariwisata” yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi (Balar) Medan. Disimpulkan perlu adanya lanjutan tahapan penelitian Arkeologi dalam bentuk kegiatan eksavasi atau penggalian terhadap tiga lokasi Ceruk dan Gua yang dinilai kemungkinan pernah didiami oleh manusia di Kabupaten Aceh Tengah yakni Ceruk Medale dan Loyang (gua) Peteri Pukes di Kecamatan Kebayakan dan Loyang Datu di Kecamatan Linge.

Sejak 6-11 Maret 2009, Tim Penelitian Arkeologi dari Balai Arkeologi (Balar) Medan mulai melakukan penggalian (ekskavasi) di Ceruk Mendale. Tim yang diketuai Ketut Wiradnyana dengan 12 orang anggota tim termasuk Kepala Balai Arkeologi Medan, Lucas Partanda Koestoro menemukan lapisan budaya di bawaah tanah yang didalamnya mengandung beberapa benda yang disebut ”sampah” peninggalan aktivitas manusia prasejarah berupa sisa arang pembakaran, tembikar (gerabah), tulang-belulang hewan dan manusia, cangkang mulosca (keong dan siput) dan yang paling mengejutkan berupa alat batu yang sering disebut ”gigi petir” dari bebatuan andesit.

The Globe Journal terus mengikuti proses penggalian dari awal dan diakhiri dengan wawancara khusus dengan seluruh anggota tim pada 11 Maret di Takengon terkait temuan-temuan benda bersejarah di lokasi eksavasi.

Menurut keterangan Lucas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan, proses ekskavasi kali ini merupakan bagian dari riset desain prasejarah dalam konteks nasional di wilayah kerja Balar Medan. Pada riset desain global tersebut diasumsikan bahwa di wilayah Aceh Tengah diduga pernah menjadi suatu kawasan yang sarat dengan aktivitas masa prasejarah khususnya dari masa mesolitik, neolitik hingga masa selanjutnya, artinya wilayah ini tentunya masih menyisakan tinggalan kehidupan masa lalu di suatu tempat dari masa ke masa. Asumsi ini didasarkan atas temuan berbagai tinggalan budaya dari sebaran situs bukit kerang yang situsnya tersebar dari Kabupaten Deli Serdang hingga ke Lhok Seumawe.

Lucas menyimpulkan bahwa Loyang Mendale, sudah jelas atau absolut merupakan situs prasejarah yang disebut dengan abris sousroche (rock shelter) atau ceruk perlindungan. ”Kegiatan Balar kali ini merupakan awal dari rangkaian kegiatan yang seharusnya dilakukan lebih intensif lagi. Dan kegiatan eksavasi kali ini merupakan hasil eksploratif tahun 2007 yang lalu,” papar Lucas. ”Manusia yang pernah hidup di Mendale merupakan satu kelompok atau keluarga yang tinggal sementara atau menetap. Danau Lut Tawar merupakan punya daya tarik bagi kelompok-kelompok manusia untuk menetap karena mereka perlu air bersih dan sumber makanan,” jelas Lucas

”Kepastian kronologi dan usia, diperlukan analisis carbon dating dan analisis Pollen diperlukan untuk menegtahui jenis tumbuhan yang hidup disekitar situs yang mungkin diantaranya merupakan bahan makanan atau tanaman yang diusahakan. Analisis carbon datin dilaukan di Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) di Serang dan analisa Pollen dilakukan di Bagian Arkeometri Pusat Penelitian dan pengembangan Arkeologi Nasional di Jakarta. Balar Medan belum memasukkan anggaran untuk analisis tersebut tahun 2009 dan 2010 karena biaya persampelnya dalam hitungan dolar diperlukan 7 sampai 10 juta. Sementara situs ini memerlukan paling tidak empat sampel yang harus dianalisis. Analisis bisa dilakukan bertahap tiap tahunnya,” kata Lucas yang juga seorang penyelam arkeologi paling senior di Indonesia.

Selanjutnya ditegaskan Lucas, dengan ditemukannya batu petir yang jelas-jelas merupakan buatan manusia dapat disimpulkan bahwa pernah ada kehidupan di Medale pada masa neolitik atau sekitar 3500 tahun yang lalu.

Ketua tim ekskavasi, Ketut Wiradnyana menyatakan dengan tegas bahwa Ceruk Mendale pernah dihuni oleh manusia dengan asumsi pada masa prasejarah dan masa pasca prasejarah. ”Temuan gerabah yang cukup halus menunjukkan indikasi kuat adanya kehidupan pasca prasejarah dengan lapisan budaya pada kedalaman sekitar 0,5 meter. Sedangkan untuk pra sejarah ditunjukkan dengan adanya lapisan budaya pada kedalaman sekitar 85 cm dibawah tanah, yang artefak dan ekofaknya menunjukkan adanya sisa aktivitas di Ceruk Mendale.” papar Ketut.

”Dengan ditemukannya kapak batu persegi yang sudah digosok halus di Ceruk Mendale dan Loyang Peteri Pukes membuktikan adanya budaya Neolitik.” jelas Ketut. Dikatakan, indikasi budaya yang lebih tua masih lemah karena hanya ditemukan dua buah artefak berbahan cangkang moluska dari famili arcticidae yang biasanya ditemukan pada situs-situs masa mesolitik di pesisir timur Pulau sumatera (Aceh Tamiang dan Aceh Timur).

Ketua Komunitas VisTaga, LSM lokal yang bergerak dibidang budaya, pariwisata dan lingkungan, Ir. Win Ruhdi Bathin menanyakan apakah manusia yang pernah menghuni Ceruk Mendale adalah nenek moyang orang Gayo, Ketut mengatakan bisa saja bahwa mereka adalah cikal bakal orang Gayo. tapi Ketut menyatakan tidak semudah itu dikatakan bahwa ”itulah orang Gayo”. ”Mengingat migrasi yang berlangsung ke tanah Aceh jelas dari dua budaya yang berbeda yaitu Hoabinhian dan Kapak Persegi dimana kedua kelompok budaya ini bermigrasi dalam masa yang berbeda. Migrasi dimaksud terjadi berulang kali pada masing-masing periode sehingga terjadi pembauran pada kelompok lama dan kelompok yang baru. Kemungkinan, itulah nenek moyang orang Gayo.” papar Ketut panjang lebar.

Menurut Ketut, sampai saat ini, temuan di Daerah Aliran Sungai Tamiang merupakan temuan tertua di Aceh yakni di masa mesolitik yang berumur 6080 tahun yang lalu dengan budaya Hoabinh berciri Sumateralith yaitu berupa benda sejarah kapak batu yang dibuat dari bahan kerakal dengan pangkasan diseluruh bidang sisinya dengan tajaman monofasial maupun bifasial. Sebagian daripadanya merupakan masih merupakan korteks atau kulit batu.

Menyangkut temuan kerangka manusia di Ceruk Mendale, Ketut menjelaskan bahwa kerangka ditemukan pada lapisan budaya yang jika dibandingkan dengan lapisan budaya dikotak gali yang lainnya menunjukkan satu level yaitu lapisan neolitik, artinya diasumsikan kerangka tersebut dari masa neolitik.

Selanjutnya, Lucas dengan sangat tegas menyatakan, dengan ditemukannya kebudayaan neolitik di Gayo, ke depan diperlukan adanya proposisi sejarah budaya Indonesia. Pernyataan ini ditimpali Ketut dengan menyatakan diperlukan lanjutan penelitian ini, perlu diadakan semacam perjalanan menelusuri sungai Peusangan, karena kemungkinan alur sungai tersebut merupakan alur masuk bagi manusia dari pesisir ke Aceh Tengah,” kata Ketut berharap.

Ketua Komunitas VisTaGa, Ir. Win Ruhdi Bathin yang dengan setia mengikuti prosesi ekskavasi sejak awal, mengutip keterangan Lucas mengatakan lokasi-lokasi ditemukannya tersebut harusnya segera dijadikan sebagai lokasi Benda Cagar Budaya atau BCB dengan sebuah Surat Keputusan dari Pemda agar lokasi tersebut menjadi tempat yang dilindungi undang-undang. ”Situs budaya merupakan aset mahal untuk sejarah dan pariwisata dan merupakan target utama bagi wisatawan, panorama merupakan bonus dalam kepariwisataan,” kata Win Ruhdi.[003]

16 Maret 2009

Arkeolog Temukan Pecahan Tulang dan Gerabah di Gayo

Khalisuddin The Globe Journal

Aceh Tengah - Badan Arkeologi (Balar) Medan melakukan serangkaian penggalian (eksavasi) arkeologi di tiga tempat di Aceh Tengah. Penggalian ini merupakan lanjutan dari tahapan penelitian sebelumnya 2007. Tim yang dipimpin Ketut Wiradyana ini beranggotakan 15 orang akan melakukan penelitian sejak 6-13 Maret mendatang di Rock Shelter (Ceruk) Mendale Kecamatan Kebayakan, Loyang (gua) Peteri Pukes kecamatan Kebayakan dan Loyang Datu Kecamatan Linge.

”Berdasarkan penelitian sebelumnya, di tiga tempat ini ditemukan bukti ilmiah kemungkinan adanya kehidupan purbakala di Gayo,” kata Ketut. Dikatakan, sebelum ketahap penggalian, terlebih dahulu sudah diawali observasi. ”Kemudian dianalisis, dan ternyata ketiga tempat di Gayo ini disimpulkan punya prospek untuk diteliti lebih mendalam,” jelas Ketut.

Lebih lanjut dikatakan Ketut, penggalian hari pertama, Jum’at (6/3) di Rock Shelter (ceruk) Mendale ditemukan beberapa fragmen (pecahan) diduga peralatan manusia seperti kapak dari batu, fragmen gerabah dan fragmen tulang belulang. ”Lapisan-lapisan tanah di ceruk ini juga tunjukkan ada aktifitas manusia zaman dahulu disini,” kata Ketut sambil menunjukkan titik penggalian.”Untuk kepastian data ilmiah fragmen-fragmen ini, kita perlu bekerja sama dengan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) untuk dilakukan analisa karbon,” jelas Ketut yang mengaku kecewa mendapati beberapa bagian dari ceruk Mendale telah dibolduzer orang.

Ketut berharap dalam penggalian ini dapat ditemukan lebih banyak lagi benda-benda purbakala yang lebih konkrit, terutama fragmen tulang dan arang karena benda tersebut dapat memberikan data ilmiah yang sangat detail bagi arkeologi.. ”mudah-mudahan saja kita tidak temukan sandal jepit,” seloroh Ketut yang mengaku sangat kagum dengan keindahan alam Gayo.

Dikatakan, Badan Arkeolog Medan membawahi lima provinsi di Sumatera. Dari hasil penggalian sebelumnya di Tamiang dipastikan kawasan tersebut telah dihuni ditahun 6080 tahun yang lalu dengan kebudayan Hoabinh. Dan terakhir penggalian di kawasan pesisir dan pegunungan Tanjung Pinang, Arkeolog menemukan peralatan batu khas yang dinamakan Sumateralit.

Di lokasi penggalian, turut hadir seorang penyelam yang biasa menyelam di danau Lut Tawar, Munawardi. Kepada tim Arkeolog mengaku pernah menemukan gerabah yang masih utuh di suatu tempat dalam danau Lut Tawar. ”Gerabah tersebut saya biarkan ditempatnya. Saya memiliki fotonya dan akan perlihatkan kepada Anda,” kata Munawardi berjanji.

Di tempat yang sama, Ir. Win Ruhdi Bathin, ketua LSM Lingkungan dan Pariwisata “VisTaga” memberikan apreasiasi luar biasa kepada tim arkeolog tersebut. ”Ini adalah momentum pembuktian sejarah yang sangat ilmiah, khususnya di Gayo dan Aceh umumnya.” kata Win Ruhdi. [003]

13 Februari 2009

Di Linge, BRR Sengsarakan Masyarakat Sengsara

Khalisuddin The Globe Journal

Gema Konferensi Forum Koordinasi Aceh Dan Nias (Cfan IV) dengan tema “Celebrating Humanity the Rebirth Aceh Nias” yang diselenggarakan oleh BRR Aceh-Nias di Jakarta Convention Center pada 13-16 Februari 2009 memang tidak didengar oleh masyarakat pedalaman dataran tinggi Gayo, persisnya di Kampung Linge, Pertik, Delung Sekinel, Reje Payung dan Kampung Jamat di Kecamatan Linge Aceh Tengah yang terpaut jarak puluhan ribu kilometer dari Jakarta.


Tahun anggaran 2007 silam, BRR NAD Nias regional III mengucurkan anggaran 1,5 milyar melalui LSM Perantar untuk pemberdayaan ekonomi produktif masyarakat kawasan tersebut. ”Harap untung, malah buntung” ternyata terjadi penyimpangan dalam pengelolaannya.


Kambing-kambing yang diberikan ternyata sakit dan mati secara massal dalam tempo tidak lebih dari seminggu. Sialnya kambing-kambing setempat yang sebelumnya sehat juga ikut mati tertular penyakit. Kerugian masyarakat mencapai 2 milyar belum lagi dana 1,5 milyar yang hanyut begitu saja.


Dua tahun berlalu hingga penyelenggaraan hajatan ”pamer prestasi kerja” di Jakarta Convention Center kasus ini tidak ditangani samasekali.


Hamdani (24) dari Jaringan Anti Korupsi Gayo (JANGKO) melalui pesan singkat di ponselnya menyatakan keprihatinannya kepada wartawan The Globe Journal (12/2). ”Saat itu, masyarakat yang sudah semaput perekonomiannya, ditimpuk lagi dengan persoalan mengubur bangkai ribuan kambing-kambing yang tergeletak dimana-mana. Sementara saat ini eks bos-bos BRR Regional III dan LSM Perantar lenggang kangkung menikmati prestasi kerja. Dan malah beberapa diantaranya maju menjadi caleg untuk anggota DPRK dan DPRA di pemilu 2009,” kata Hamdani.


”Tuntutan ganti rugi melalui media massa atas matinya kambing-kambing mereka tidak digubris samasekali. BRR telah membunuh sekitar duaribu kambing setempat dengan bertameng membawa kambing bantuan yang ternyata hanya membunuh kambing masyarakat dan numpang kuburan di Linge,” tambah Hamdani.


Pada pertengahan Mei 2008 lalu, melalui sebuah media massa, Ikhwanussufa, selaku Kepala Satker Agama Sosial Budaya BRR NAD Nias Regional III menyatakan bahwa proyek bantuan kambing di Kecamatan Linge dikerjakan oleh Kasatker sebelumnya. Menurut Ikhwanussufa proyek tersebut tanpa proses CP/CL. LSM Perantar telah membuat kesalahan besar, LSM yang ditunjuk sebagai pendamping malah bertindak sebagai pelaksana. LSM Perantar membeli kambing-kambing itu dan diserahkan kepada warga. LSM Perantar tidak berniat baik untuk memperbaiki kinerjanya sebagai tenaga pendamping, maka LSM Perantar harus menyetor sejumlah kerugian kepada kas negara. Bahkan saat itu Ikhwanussufa menegaskan “Kami akan meneruskan kasus kamatian kambing-kambing bantuan itu untuk diproses hukum. Tapi kenyataannya hingga saat ini belum ada proses apapun baik proses hukum maupun proses ganti rugi bagi masyarakat.


Dari amatan dan informasi yang dikumpulkan, beberapa proyek lainnya di Aceh Tengah masih dibiarkan terbengkalai. Pembangunan Terminal Tipe B Paya Ilang, ternyata tidak rampung dan tidak dapat difungsikan.


Proyek jalan tembus Kenawat – Tebuk, kini tak bisa dilalui akibat ditutup longsor di beberapa titik. Panjang jalan masih kurang 1,5 km lagi dari rencana awal sehingga belum bisa dimanfaatkan oleh warga. Parahnya, pada 2 januari 2009 lalu banjir bandang untuk pertama kalinya terjadi di kampung Kenawat. Lumput mengubur hektaran padi warga yang baru ditanam. Air sungai meluap akibat tanah labil bekas kerukan alat berat menghambat aliran air sungai yang biasanya lancar.


Di Bener Meriah, BRR menelantarkan proses pembangunan ruas Jalan Simpang Lancang – Uwer Lah Kecamatan Pintu Rime Gayo Bener Meriah. Kondisi jalan yang setengah jadi sangat mengganggu aktifitas warga disana.


Petinggi BRR akan duduk dikursi empuk bersama gubernur, presiden dan para mentri. Hidangan lezat tersaji penyangga haus dan lapar dalam membahas kesuksesan proyek-proyek BRR selama ini. Nun jauh dipedalaman, ditengah rimba belantara bumi Linge masyarakat menghiba meratapi pembantaian ternak mereka.


Mungkinkah dalam pameran dan pemaparan hasil kerja BRR di Jakarta Convention Center memasukkan agenda dengar pendapat kisah tragis masyarakat Linge yang masih menunggu ganti rugi atas kematian kambing mereka ?. Bagaimana pula dengan bangunan serta jalan yang terlantar yang telah timbulkan musibah bagi warga pedalaman ?.

12 Februari 2009

Pembangunan Pertanian Takengon Tak Jelas

Senin, 9 Februari 2009 08:16

Win Ruhdi Bathin, Takengon

Dataran Tinggi Gayo adalah daerah potensial perkebunan dan pertanian, jenis hortikultura. Bahkan penjajah Belanda secara ilmiah telah meneliti dan mengembangkan potensial perkebunan ini, kemudian membagi wilayah pertanian tersebut sesuai kecocokan komoditinya.

Tidak heran, komoditas perkebunan seperti kopi, teh dan pinus merkusi menjadi komoditi unggulan Belanda. Sehingga negara Kincir Angin tersebut mendirikan pabrik pengolahan getah pinus di Lampahan, pabrik teh di Janarata Kecamatan Bandar serta pola perkebunan kopi dengan sistem perusahaan negara di Bergendal Simpang Teritit dan Burni Bius Kecamatan Silih Nara.

Belanda secara kontinyu mengelola potensi perkebunan ini dan mengirimnya keluar negeri (eksport) sebagai salah satu sumber pendapatan Pemerintahan Kerajaan Belanda di daerah jajahan. Selain komoditi perkebunan, juga lomoditi sayuran (hortikultura), seperti kentang.

Namun di era digital dunia moderen seperti sekarang ini, Pemerintah Daerah (Pemda), seperti kehilangan marwah dan arah pembangunan pertanian. Betapa tidak, jika Belanda di era tahun pra kemerdakaan saja sudah mengembangkan potensi perkebunan secara terarah dan terukur, hal yang sama tidak dilakukan Pemda guna mendapatkan potensi PAD.

Pemda seperti tidak mampu membaca potensi kopi dan komoditi lain yang dahulu sudah terbukti dijaman Belanda sebagai kekuatan ekonomi yang handal. Bahkan anehnya, hingga kini kopi sebagai andalan PAD belum memiliki kebun induk atau balai penelitian khusus kopi.

Kopi diharap sebagai penyumbang terbesar PAD tapi kopi juga ditelantarkan dan dianggap sepele dengan mengusahakannya secara sembarangan dan apa adanya. Padahal Kabupaten Aceh Tengah memiliki SDM yang terbilang hebat. Pejabat di Dataran Tinggi ini rata-rata tamatan Strata dua diberbagai bidang, termasuk Magister Managemen.. Dan kuliah mereka selama ini dibiayai APBD.

Lihatlah bagaimana informasi terkini, kopi gayo sudah didaftarkan Pengusaha Belanda menjadi paten mereka. Akibatnya, pengusaha gayo tidak boleh lagi memakai kata Kopi Gayo. Untuk menggugurkan paten ini, harus dilakukan upaya dengan satu-satunya cara yaitu ”Indikasi Geografis”.

Dr Surip Mawardi dari Pusat Penelitian Kopi Indonesia di Jember sudah memberi jalan indikasi geografis dan siap membantu. Namun apakah Pemda Aceh Tengah juga Bener Meriah, lewat pejabat terkait sudah serius menjalankan misi penyelamatan ini? Bila tidak, tampak sekali Pemda tidak serius. Hanya mampu berteori, berorasi dan berandai-andai tanpa tindakan kongkrit demi kemaslahatan rakyat pegunungan yang mengandalkan kopi sebagai satu-satunya sumber penghasilan terbesar mereka.

Pemda hanya mampu saat ini menyediakan benih kopi secara gratis yang ”katanya” mencapai jutaan polibag. Tapi apakah sudah diikuti pemahaman kepada petani tentang budidaya, panen, paska panen hingga distribusi?, tampaknya belum meski posisi bupati sebagai kepala daerah silih berganti setiap lima tahun.

Bila pemberian bibit tidak diikuti petunjuk ilmiah bertani kopi secara modern, tampak sekali peran dinas terkait seperti perkebunan termasuk penyuluhnya belum berjalan sesuai harapan dan menjadikan petani rakyat bertani secara moderen dengan produksi perhektarnya tidak stagnan seperti selama ini.

Indikasi belum berperannya Pemda dalam pengelolaan kopi rakyat dengan mudah dapat dilihat. Ambil saja salah satu parameternya produksi kopi perhektar/tahun. Produksi kopi rakyat di Aceh Tengah saat ini berdasarkan data hanya 600-700 kilogram/hektar / tahun dan hal ini sudah berlangsung lama.

Jika dahulu alasan rendahnya produksi kopi karena konplik dimana banyak kopi ditinggalkan dan ditelantarkan, kini alasan itu tentu tidak lagi bisa diterima. Setiap tahun, tidak kurang dari Rp.400 milyar APBK ditambah dana Otsus belum mengarah pada bagaimana perekonomian kopi rakyat bisa menjadi komoditi yang secara signifikan erus meningkat dan mampu mensejahterakan petani.

Bahkan petani masih menjadi komoditi atau sapi perahan banyak pihak. Petani kopi Gayo menjadi sumber komoditas politik, ekploitasi ekonomi para pengusaha kopi termasuk eksportir kopi dari gayo.

Hebatnya lagi, eksportir kopi ke luar negeri memanfaat kalimat sakti kopi organik menjadi ladang mencari keuntungan berllimpah. Sementara nasib petani begitu-begitu saja. Fee kopi organik, belum meyakinkan petani jumlahnya setiap tahun dan hanya dianggap menguntukan kolektor.

Hingga kini, belum ada institusi atau badan swasta yang benar-benar membela kepentingan petani, kecuali hanya mengekploitasinya saja. Sekarang, menghadapi isu dunia tentang globalisasi dan perubahan iklim dunia yang ekstrim dan merusak, Gubernur Aceh coba menjual isu penyelamatan hutan Aceh dengan moratorium logging (jeda penebangan hutan) dan mendapat kompensasi dari tidak menebang hutan dari masyarakat dunia.

Gubernur juga mengandalkan kopi sebagai komoditi Aceh yang dibanggakan di luar negeri.Meski seungguhnya kopi masih belum diusahakan secara profesional seperti yang dilakukan penjajah Belanda dahulu. Demikian halnya kayu yang terus ditebang dengan melibatkan banyak pihak yang terlibat dalam jaringan terlarang alias mafia.

Pemda Aceh Tengah sepertinya kehilangan arah dan jati diri dalam membangun daerahnya sehingga APBKnya yang ratusan milyar masih dipakai secara ekslusif untuk pejabat dan kalangan DPRK, untuk pembangunan fisik, pembelian alat dan barang , perjalanan dinas, mobil mewah pejabat dan sejumlah kepentingan kalangan elit kabupaten.

Untuk rakyat? Cobalah lihat dan tanya pada mereka. Apakah yang mereka sudah dapat dari APBK Aceh Tengah selama ini.(*)

10 Januari 2009

“Ghost Net” Momok Ikan Lut Tawar

Khalisuddin The Globe JournalTakengon - Istilah “Ghost Net” tidak asing lagi ditelinga pecinta lingkungan terutama dengan latar belakang keilmuan bidang perikanan dan kelautan tapi masih sangat asing bagi masyarakat awam.

Ghost Net sangat ditakuti oleh ikan-ikan dalam kesehariannya mencari makan. Ghost Net merupakan hantu yang dapat membunuh mereka dengan kejam dan perlahan-lahan, menggelepar untuk seterusnya meregang nyawa akibat kehabisan tenaga. Jarang yang lolos dari jeratan Ghost Net.

Ghost Net sendiri tak berniat untuk membunuh, tak ada gunanya bagi mereka. Mangsanya tidak dikonsumsi oleh Ghost Net dan tidak menerima titipan atau bayaran dari siapapun untuk membunuh ikan-ikan.

Munawardi, S.St.Pi (28), penyelam bersertifikat A1 ini dengan mimik sedih kepada The Globe Journal Rabu (7/1) menjelaskan bahwa sejak peradaban manusia modern di sekitar Lut Tawar ada, Ghost Net terus menerus menhantui ikan-ikan Danau Lut Tawar. Saat ini keberadaan Ghost Net sudah sangat memprihatinkan. “Ghost Net harus segera di ambil”, tegas Ardi panggilan akrab Munawardi. Keseimbangan ekosistem Lut Tawar sudah sangat kritis akibat plankton-plankton yang merupakan makhluk kecil mangsa ikan mendapat perlindungan dari Ghost Net karena ikan-ikan tidak berani mendekat, jelas Munawardi yang merupakan seorang penyelam yang juga penemu Bom Raksasa tahun 2006 yang menghuni Danau Lut Tawar sejak zaman penjajahan Jepang.

Ghost Net merupakan jaring-jaring (Gayo : Doran) yang tidak diambil oleh nelayan yang memasangnya. Doran ini kemudian menjadi hantu pembunuh bagi ikan-ikan Danau Lut Tawar. Ghost Net biasanya berada di kedalaman 5-12 meter lebih. Dengan kedalaman ini nelayan tidak dapat mengambil jaringnya dan dibiarkan begitu saja. Wajar bila populasi ikan di Danau Lut Tawar terus-menerus berkurang.

Selama ini banyak kalangan memvonis bahwa ini adalah akibat tingginya frekuensi penangkapan baik oleh nelayan maupun pemancing ikan. Vonis ini mungkin sebagian benar, akan tetapi ternyata kekejaman Ghost Net bukan cerita bohong lagi.

Dalam rekaman video milik Munawardi yang diserahkan kepada The Globe Journal, nampak Ghost Net. Ikan hidup menggelepar, ikan mati bahkan tulang belulang berbagai jenis ikan tersangkut di jaring-jaring tersebut. Bangkai dan tulang belulang ikan bawal, mujahir, depik, eyas, peres dan jenis ikan lainnya terjerat oleh jaring. “Saya geram sekali menyaksikan tontonan tersebut,” kata seorang anggota komunitas VisTaGa, sebuah komunitas masyarakat dataran tinggi Gayo peduli lingkungan, Amanshafa (41).

“Kita adalah salah satu suku bangsa yang bodoh, zhalim dan tak tahu bersyukur atas pemberian yang Maha Kuasa.” Lanjut Amanshafa. “Harta kebanggaan kita dibiarkan tak berurus layaknya tak bertuan. Kita hanya mampu mengeruk keuntungan dari Danau Lut Tawar.” Pungkas Amanshafa

Sepengetahuan Ardi, sampai saat ini Lut Tawar belum mempunyai peta batimetrik, sebuah peta yang menggambarkan kontur, kedalaman rata-rata, titik terdalam. Peta ini sangat berguna untuk data ilmiah. “Dengan peta tersebut dapat ketahui pola arus air danau Lut Tawar,” jelas Ardi.

Lebih lanjut Ardi merinci dengan peta batimetrik dapat ditentukan suatu tempat di danau difungsikan untuk kepentingan yang sesuai seperti penentuan zona budi daya, zona tangkap, zona konservasi atau reservart (kawasan reservasi alias tidak bisa diganggu). Sebagai contoh untuk kepentingan pelestarian ikan depik, zona reservatnya adalah didisen itu sendiri.

Menurut Ardi data kualitas air Lut Tawar belum ada yang up to date, sempat ada pernah diukur pada 1980. “Seharusnya data kualitas air harus berkala, minimal 6 bulan sekali, secara fisika, kimia dan biologi yang gunanya memantau tingkat kesuburan (eutrofikasi) danau” ujar Ardi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Unsyiah dan Pemda tahun 1990-an Danau Lut Tawar termasuk kelas eutrofikasi (terlalu subur) dengan indikator visibility (kecerahan) air yang makin berkurang karena banyaknya plankton, karena banyaknya makanan plankton berupa bahan organik yang disumbang oleh air limbah dari desa sekitar danau baik kotoran maupun sisa pupuk yang hanyut. Keadaan ini makin diperpuruk dengan sisa pakan akan keramba-keramba yang dibangun di danau. “sebaiknya air Lut Tawar segera kita teliti dan persoalan danau adalah masalah komplikasi” tegas Ardi.

Selanjutnya Ardy menjelaskan bahwa ikan Depik termasuk planktivor (pemakan Plankton) itu sebabnya depik tidak bisa dipancing, katanya. Depik tidak pernah sembunyi, pada masa musim depik berdasarkan kebiasaan ikan, di dedesen depik memijah telur (Depik Masir=Mumire). Depik bisa jadi berada di daerah Abisal (daerah tidak terjangkau matahari) 7 meter keatas. Ikan akan memijah bila suhu yang mereka inginkan tepat. Diduga suhu pada musim depik cocok dan sesuai di Dedesen.

“Untuk menjaga dan meningkatkan populasi depik diharapkan saat fase memijah ikan depik jangan di tangkap.” Pungkas Ardi.

08 Januari 2009

Kolam Pemandian Air Panas Ditambah

Khalisuddin The Globe Journal

Bener Lampahan – Pemerintah Kabupaten Bener Meriah pada February mendatang akan menambah satu lagi kolam pemandian air panas. Kolam tersebut di Bener Lampahan persis di sisi jalan Takengon-Bireun sekitar dari 2 km sebelum kolam pemandian Simpang Balik.
Pembangunan kolam pemandian ini didanai oleh BRR dengan rincian pemasangan pipa sepanjang 3,5 km, dua unit kolam, kamar ganti dan fasilitas lainnya. Pengelola lokasi pemandian air panas, Iklil (48), putra Tokoh perjuangan DI/TII Aceh, Alm. Tgk Ilyas Leube yang menjelaskan, tujuan pembangunan pemandian ini untuk menambah asset wisata Tanoh Gayo serta dalam usaha menciptakan lapangan kerja masyarakat sekitarnya.
”Kita berharap kehadiran kolam pemandian air panas ini dapat menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat yang ingin menikmati hangatnya air panas yang berkadar belerang dengan sumber Burni Telong,”kata Ikil kepada Theglobejournal, Selasa (6/1). Berbeda dengan pemandian di Simpang Balik yang berlokasi persis di pusat pasar, pemandian Bener Lampahan berdampingan langsung dengan asset sejarah berupa pabrik kopi milik Tgk Ilyas Leube yang dibangun pada tahun 1920.
”Pengunjung akan mendapat bonus dengan menikmati wisata sejarah disini nantinya,” papar Iklil berpromosi.
Lokasi kolam pemandian Bener Lampahan sangat strategis dengan hamparan lahan yang cukup luas sehingga para pengunjung nantinya dapat leluasa memarkir kenderaan.
”Dengan lahan yang memadai, kita optimis untuk pengembangan kedepan komplek wisata ini termasuk rehabilitasi pabrik kopi bertenaga air peninggalan ayah saya,” pungkas Iklil. (002).

14 Desember 2008

Anjing Rabies Gigit Lima Warga Gayo

Khalisuddin The Globe Journal
Takengon – Lima warga Takengon secara beruntun digigit anjing pada Sabtu (13/12). Gigitan beruntun dimulai sejak pukul 05.00 WIB di kawasan Pasar Bawah Kampung Baru Kecamatan Lut Tawar yang berjarak sekitar 300 meter dari Pendopo Bupati Aceh Tengah. Seorang korban, Latansari (54) warga kampung Asir-asir Asia melalui anaknya Fadhlan (28) menyatakan kekesalannya terhadap kasus ini. Pihak terkait hampir tidak pernah melakukan upaya pencegahan kasus anjing ini. Mereka hanya urus setelah ada kasus gigitan anjing. Itu pun bila anjing dapat ditangkap dan diserahkan kepada mereka, upaya-upaya pencegahan lainnya tidak pernah dilakukan, papar Fadhlan.
Koordinator Rabies Center 6 kecamatan (Lut Tawar, Kebayakan, Bebesen, Pegasing, Kute Panang dan Bintang) yang berposko di Puskesmas Kota Takengon, Supriati (33) menjelaskan bahwa lima korban digigi oleh anjing yang diduga menderita rabies itu telah disuntik Vaksin Anti Rabies (VAR). Suntikan ini harus dilakukan sebanyak 3 kali secara periodik setiap 7 hari, jelas Supriati.
Kepada masyarakat Supriati menghimbau agar segera mencuci bekas gigitan anjing selama 15 menit pakai sabun dan air mengalir. Perlakuan ini mengurangi 75 % resiko Rabies. Lebih lanjut Supriati memaparkan bahwa di tahun 2007 terjadi 98 kasus rabies dan 95 % positive rabies. Di tahun 2008 ditangani 80-an kasus gigitan. Angka ini belum termasuk kasus di kecamatan lainnya dalam Kabupaten Aceh Tengah, pungkas Supriati.
Secara terpisah, kepada The Globe Journal Kabid Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Kabupaten Aceh Tengah, Drh. Rahmandi mengaku sudah mengirimkan sample otak kecil anjing yang menggigit kelima warga tersebut ke Balai Penelitian Penyakit Veteriner (BPPV) Medan untuk di uji laboratorium apakah anjing tersebut terserang virus rabies atau tidak. Menurut Rahmandi, pihaknya telah melakukan upaya pencegahan dengan vaksinasi massal terhadap anjing masyarakat seperti di Kampung Ponok Balik Kecamatan Ketol beberapa hari lalu. Pada kamis, 18 Desember 2008 kita akan mengadakan Eliminisasi (peracunan) terhadap anjing liar diseputar Pasar Ikan dan Rumah Sakit datu Beru Takengon.
Menurut Rahmandi yang menjadi kendala adalah kurangnya partisifasi masyarakat untuk mengubur anjing yang mati. ”Kita selalu mendapat kecaman pasca eliminisasi karena banyaknya bangkai anjing yang tidak dikubur,” ungkap Rahmandi. Pantauan The Globe Juornal, anjing-anjing tanpa pemilik berkeliaran bebas seputar kota Takengon di kawasan Pasar Ikan, Pasar Inpres dan kawasan RSU Datu Beru. Pada malam hari anjing-anjing ini biasa tidur di Halaman Cool Storage samping BRI Takengon yang hanya 100 meter dari Gedung DPRK Aceh Tengah.[003]

12 Desember 2008

Tidak Transparan Ganti Rugi Jalan Lingkar Paya Tumpi

Khalisuddin The Globe Journal
Takengon - Pemerintah Aceh Tengah dinilai tidak transparan dalam prosesi pembebasan tanah masyarakat yang terkena pembangunan jalan baru Paya Tumpi-Paya Ilang yang menurut informasi bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Tahun Anggaran 2008 serta dana Sharing dari APBK Aceh Tengah. Jalan itu merupakan jalan elak dari pintu gerbang Kota Takengon menuju lokasi Terminal Terpadu Paya Ilang yang diprogram pada Bupati Aceh Tengah Mustafa M Tamy.
Seorang Warga Kebet AS Kobat (76) kepada The Globe Journal Jumat (12/12) mengungkapkan rasa sesalnya terhadap sikap Pemda Aceh Tengah yang terkesan tertutup. "Memang kami pernah diundang ke Opsroom beberapa minggu lalu untuk sosialisasi, akan tetapi saat itu tidak diungkap harga yang ditawarkan. Anehnya aparatur resmi pemerintahan di tingkat desa menyebarkan isu dengan menebarkan blangko Surat Pernyataan pada 27 Nopember yang lalu dengan isi diantaranya harga tanah kami dinilai Rp 150.000 per meter pukul rata. Cara ini jelas mengundang keresahan dimasyarakat, papar Kobat.
Menurut pantauan, harga tanah disepanjang rencana pembangunan jalan tersebut memang bervariasi. Di beberapa titik pas dinilai Rp 150.000 per meter dan malah diuntungkan. Akan tetapi di bagian strategis seperti tanah milik Kobat dan beberapa warga lainnya harga ini jauh lebih rendah dari harga jual pasaran disana saat ini yakni mencapai Rp. 400.000 per meter Kobat menyatakan mendukung program ini sebab sangat penting untuk kemajuan Aceh Tengah. Tapi kami bermohon agar pengambil kebijakan lebih arif dalam mensosialisasikan program ini. Mungkin dengan pendekatan persuasif sikap kami akan lebih terbuka dan tidak kaget. Dengan cara yang sekarang ditempuh tentu aparatur kampung ini akan menjadi cercaan masyarakat dan dianggap calo. Hal ini tentu tidak perlu terjadi.
Koordinator JANGKO (Jaringan Anti Korupsi Gayo), Hamdani yang diminta tanggapannya pada Jumat (12/12) menyatakan pihaknya telah menerima tembusan surat pernyataan yang ditandatangani beberapa warga Kebet (7/12) yang antara lain berisi dukungan terhadap program pembukaan jalan akan tetapi dengan tegas meminta pihak Pemda Aceh Tengah untuk mempertimbangkan kembali harga yang diissuekan oleh aparat Kampung Kebet tersebut. ”Kami akan dampingi warga tersebut hingga tercapai kesepakatan antara warga dan Pemda. Sementara ini kami masih pelajari kasus ini,” tegas Hamdani.
Lebih lanjut Hamdani menyatakan kekecewaannya dengan pola yang diterapkan oleh Pemda Aceh Tengah yang tidak profesional yakni dengan cara menebarkan blangko surat pernyataan untuk ditandatangi oleh warga. Blangko tersebut tanpa sumber jelas pengirimnya, akan tetapi jelas dapat dibuktikan dari tangan siapa blangko tersebut mulai beredar. ”Beberapa warga malah sudah setuju dan menandatangani isi blangko tersebut”, pungkas Hamdani.[003]

04 Desember 2008

Sapi Bali di Aceh Tengah

Diawali sejak tahun 1983, Almarhum M. Beni Banta Cut selaku Bupati waktu itu membawa 6 ekor sapi Bali ke Aceh Tengah dan diternakkan di Desa Paya Tumpi Kecamatan Lut Tawar. Selanjutnya tahun 1994, Program Bantuan Presiden (Banpres) melalui Pemerintah Provinsi DI. Aceh menyalurkan 100 ekor sapi Bali di beberapa tempat di Aceh Tengah antara lain di Belang Gele, Pedemun, Toweren, Pinangan, Umang dan Jagong Jeget. Yang bertahan sampai sekarang adalah di Jagong Jeget, Paya Tumpi dan Pinangan, sedang di kampung lainnya tidak berhasil. Saat itu bibit sapi Bali (bos javanicus) didatangkan dari Nusa Penida Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dikenal sebagai sentra produksi sapi Bali di Indonesia, hal tersebut diungkapkan Abdul Kadir, SP, Kabid Produksi dan Usaha Dinas Perikanan dan Peternakan kabupaten Aceh Tengah. “Pak Beni merupakan tokoh peternakan Sapi Bali di Aceh Tengah” cetus Abdul Kadir.

Faktor kegagalan utama perkembangan sapi bali di Aceh Tengah sebelumnya diakibatkan konflik Aceh yang berkepanjangan yang berakibat para peternak kesulitan dalam menafkahi keluarga sehingga ternak-ternak yang mereka miliki dijual untuk menopang hidup waktu itu. Akibat Eksodus yang terjadi juga menjadi penyebab utama, masyarakat dari pedalaman cenderung berpindah mencari tempat yang aman yang tentunya membutuhkan biaya, tempat yang baru belum tentu cocok untuk beternak sapi Bali, papar Abdul Kadir.

Pada era sebelum konplik Aceh 1998-2000, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tengah sudah cukup signifikan disetorkan ke Kas Pemda sebut Abdul Kadir tanpa menyebut jumlahnya.

Populasi sapi Bali di Aceh Tengah kini mencapai 4000-an ekor belum termasuk sapi Program Ketapang, jumlah ini dirinci 800-1000-an ekor sapi Bali milik masyarakat sendiri dan sekitar 3000-an ekor bantuan sosial tahun 2006 yang lalu sebut Abdul Kadir. Angka ini berdasarkan perkiraan saja, pasca konplik kita belum memperoleh data valid tambahnya.

Sapi Pelopor
Sebutan sang Pelopor merupakan sebutan populer bagi sapi Bali, hal ini karena kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Dengan pemeliharaan seadanya atau dilepas di padang penggembalaan sapi Bali dapat menghasilkan pertambahan berat badan sampai 0,3 – 0,5 kg perhari dan mencapai 0,8 kg bila dilakukan pemeliharaan intensif dengan pola penggemukan di kandang, diberi pakan yang cukup ditambah dengan konsentrat.

Sapi Bali dinilai oleh sejumlah pakar peternakan mempunyai tingkat kesuburan tinggi, mampu melahirkan pedet 56 ekor tiap 100 ekor sapi betina. Interval kelahiran juga sangat singkat yakni 1 tahun lebih kurang. Sayangnya program Inseminasi Buatan (IB) atau lebih dikenal dengan Kawin Suntik belum dilakukan samasekali. Menurut Drh. Rahmandi, Kabid Kesehatan Hewan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Aceh Tengah tahun 2008 ini program IB mulai dilakukan.

Dari sekian banyak sapi local Indonesia termasuk sapi Aceh, sapi Bali dinilai beberapa kalangan memiliki karakteristik yang lebih baik, disamping kemampuan beradaptasi juga keunggulan-keunggulan lain seperti calving interval (masa birahi) yang lebih pendek, perawatannya juga lebih sederhana serta lebih jinak dibanding sapi lain. “Performance phisiknya juga lebih menarik” jelas Rahmandi.

Penyakit
Kelemahan sapi Bali adalah peka terhadap beberapa penyakit tertentu. Yang pertama penyakit ingusan (snot ziekte) atau malignant catarrhal fever (MCF). Di antara ras sapi, sapi Bali paling peka terhadap infeksi virus MCF. Penyakit ini tidak menular dari sapi ke sapi, tetapi virus penyebabnya ditularkan domba (biri-biri) yang bertindak sebagai pembawa virus, tanpa menderita sakit. Gejala sebelum kematian tidak tampak sama sekali, jelas Drh. Rahmandi. Pencegahannya sederhana tapi agak sulit karena harus berhadapan dengan masyarakat pemilik ternak domba, “Sapi Bali jangan bergabung dengan domba dalam satu kawasan, itu saja”, tegas Rahmandi. Di Kawasan Peternakan Ketapang yang berbatasan langsung dengan Kampung Owaq, kita sudah lakukan program depopulasi domba. Sebelumnya cukup banyak masyarakat yang memelihara domba. “Suatu kegilaan bila sapi Bali berdampingan dengan biri-biri”, tegasnya.

Pantauan Tabloid Sipil, dibeberapa daerah di Aceh Tengah seperti di kampung Mungkur dan Linge kecamatan Linge, pihak BRR regional III menyalurkan sapi Bali di kawasan dimana domba masih berkeliaran disana sini. Dari keterangan penduduk sapi-sapi Bali bantuan tersebut sebagian besar sudah mati.
Drh Rahmandi, pegawai Peternakan Aceh Tengah menyebutkan, Tahun 1964 muncul suatu wabah penyakit baru yang dikenal sebagai penyakit jembrana. Penyakit ini sangat fatal pada sapi Bali, tetapi sapi lain lebih tahan. Puluhan ribu sapi Bali di Bali mati dalam tempo singkat ketika wabah pertama timbul. Baru pada tahun 1991, sebuah tim penyidik berhasil mengidentifikasi virus lenti sebagai penyebab penyakit jembrana. Virus ini masih satu famili dengan (virus) HIV, penyebab penyakit AIDS pada manusia, mudah-mudahan di daerah kita penyakit ini jangan sampai menjangkiti ternak masyarakat papar Rahmandi berharap.
Rahmandi menambahkan bahwa Penyakit lain bernama Bali Ziekte karena banyak ditemukan pada sapi bali. Penyakit disebabkan oleh tanaman yang mampu merusak sel-sel hati (hepatotoksik) dan menimbulkan dermatitis fotosensitisasi. Pada musim kemarau, apabila hijauan makanan ternak langka, sapi Bali akan makan tanaman yang tidak lazim dimakan. Karenanya saat menjelang musim kemarau sebaiknya ternak sapi Bali diawasi dan dipelihara dengan baik terutama menyangkut penyediaan pakan, jelas Rahmandi.
Menyangkut penyakit yang biasa menyerang sapi Bali berupa penyakit Sura dan Brucellosis serta penyakit internal lainnya tapi masih dalam stadium yang tidak membahayakan. Jelas Rahmandi. Kasus penyakit dan berakibat kematian sangat minim, kalaupun ada kematian biasanya disebabkan karena salah penanganan oleh peternak sendiri misalnya terlambat melapor kepada petugas medis sehingga terlambat untuk ditangani. Sangat jarang terjadi kematian ternak bila peternaknya telaten, pungkas Rahmandi.

Peternak ketagihan
Salah seorang peternak, Amrozi (45) penduduk Desa Pinangan mengaku merupakan peternak yang memelihara sapi Bali di Aceh Tengah untuk pertama kali tahun 1997, dan memelihara ternaknya dengan pola perbibitan yakni dengan menjual anak sapi (pedet) sebagai sumber penghasilan. Menurutnya ternak bibit yang diperolehnya berjumlah 2 ekor dengan pola terima 1 kembali 2 dan telah mengembalikan hasil ternak pemerintah tersebut sejumlah 10 ekor, artinya Amrozi sudah memperoleh anak sapi sejumlah 15 ekor keturunan sapi Bali. Kini Amrozi memelihara 3 ekor, dan dia tidak memaksakan diri untuk memelihara lebih banyak karena beternak merupakan usaha sampingan.

Seorang peternak lain di Kampung Paya Serngi Kecamatan Kebayakan, Aman Shafa (40) mengaku ketagihan memelihara sapi Bali yang ditekuni sejak tahun 2004 yang lalu. Menurut Aman Shafa , hal ini disebabkan setiap tahun harga jual jenis sapi bali terus meningkat. Selain itu, setiap sembilan bulan sekali, sapi bali dipastikan sudah beranak. “Seekor sapi bali berumur 8 bulan saat ini dibeli Rp.5-6 juta”, tegas Aman Shafa yang saat ini memelihara delapan ternak dan dipelihara oleh tetangganya yang dianggap kurang mampu dengan sistim bagi hasil.

Dikatakan Aman Shafa beternak sapi bali sangat ideal bagi masyarakat Aceh Tengah karena tersedianya pakan yang cukup disekitar tempatnya tinggal yang masih banyak terdapat lahan tidur.

Selain itu, lanjut Aman Shafa sapi bali sangat mudah dipelihara dan tidak rewel. “Tanpa kandang sekalipun, sapi bali masih dapat menghasilkan anak setiap sembilan bulan”, tambah Aman Shafa.

Boy Abimayu (37) warga Paya Tumpi Kecamatan Kebayakan memelihara 4 ekor betina dan 2 ekor jantan, dalam setahunnya minimal bertambah 4 ekor anak sapi (pedet). Biasanya saya langsung jual pedet betina bila umurnya sudah 1 tahun lebih seharga minimal 4 juta rupiah, dan jantan dihargai lebih dari 5 juta perekor, ungkap Boy.

Jual beli sapi Bali sampai saat ini cenderung masih untuk dipelihara kembali, belum untuk dipotong, kecuali sifatnya potong paksa karena sakit membahayakan nyawa sapi itu sendiri.

Frekuensi Pemotongan
Petugas Rumah Potong Hewan dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Aceh Tengah, Hadi Isra dalam keterangan kepada mingguan ini menyatakan bahwa setiap bulannya sapi Bali dipotong di RPH Takengon sangat sedikit hanya 1 ekor dalam sebulan. Lain halnya dengan kerbau mencapai 3 ekor perhari dan pada hari-hari besar Islam bisa lebih.
Masyarakat Aceh Tengah lebih menyukai daging kerbau ketimbang daging sapi, akan tetapi saat ini daging sapi Bali sudah mulai disukai walau masih kalah dengan daging Kerbau, jelas Hadi.

Harga daging di pajak daging Takengon saat ini Rp. 70.000,-/ kg baik daging kerbau maupun sapi. Di provinsi kita, NAD harga daging tertinggi di dunia, tambahnya.

Program nasional Swasembada Daging 2010 dan Sapi Bali di Peternakan Ketapang
Kawasan Peternakan Terpadu Ketapang merupakan ide visioner sebut DR. Luki Abdullah Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor saat berkunjung ke Ketapang tahun lalu. Prof. Soemitro dari FKH UGM Yogyakarta menyebutnya Gayo Great Farm (GGF) pada awal tahun 2007 lalu.

Sangat beralasan kedua pakar peternakan dari dua universitas ternama di Indonesia menyebutnya demikian. “Sejauh yang saya tau, belum pernah ada bupati yang berani buat program seperti ini” ujar Luki Abdullah di Ketapang dalam rangkaian kegiatan Workshop tiga universitas (IPB, Unsyiah dan Gouttingen Jerman pertengahan tahun 2007 lalu. Selanjutnya Luki katakan “Program ini harus didukung dan harus berhasil” tegasnya.

Kini 100 KK telah ditempatkan sebagai peternak dan telah diberi ternak 15 ekor per KK, sampai tahun 2007, 790-an ekor sapi Bali telah didistibusikan disana sejak tahun 2005 dari berbagai sumber baik pusat, provinsi maupun APBK Aceh Tengah. Kritik dan sorotanpun mengalir akibat anggapan program ini belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan sementara anggaran terus mengalir mencapai puluhan milyar.
Semua pihak kini menunggu akankah Program Ketapang mampu diposisi terdepan di Provinsi ini dalam menjawab tantangan Swasembada Daging 2010 ?. (Khalisuddin, S. Pt)