Khalisuddin The Globe JournalTakengon - Istilah “Ghost Net” tidak asing lagi ditelinga pecinta lingkungan terutama dengan latar belakang keilmuan bidang perikanan dan kelautan tapi masih sangat asing bagi masyarakat awam.
Ghost Net sangat ditakuti oleh ikan-ikan dalam kesehariannya mencari makan. Ghost Net merupakan hantu yang dapat membunuh mereka dengan kejam dan perlahan-lahan, menggelepar untuk seterusnya meregang nyawa akibat kehabisan tenaga. Jarang yang lolos dari jeratan Ghost Net.
Ghost Net sendiri tak berniat untuk membunuh, tak ada gunanya bagi mereka. Mangsanya tidak dikonsumsi oleh Ghost Net dan tidak menerima titipan atau bayaran dari siapapun untuk membunuh ikan-ikan.
Munawardi, S.St.Pi (28), penyelam bersertifikat A1 ini dengan mimik sedih kepada The Globe Journal Rabu (7/1) menjelaskan bahwa sejak peradaban manusia modern di sekitar Lut Tawar ada, Ghost Net terus menerus menhantui ikan-ikan Danau Lut Tawar. Saat ini keberadaan Ghost Net sudah sangat memprihatinkan. “Ghost Net harus segera di ambil”, tegas Ardi panggilan akrab Munawardi. Keseimbangan ekosistem Lut Tawar sudah sangat kritis akibat plankton-plankton yang merupakan makhluk kecil mangsa ikan mendapat perlindungan dari Ghost Net karena ikan-ikan tidak berani mendekat, jelas Munawardi yang merupakan seorang penyelam yang juga penemu Bom Raksasa tahun 2006 yang menghuni Danau Lut Tawar sejak zaman penjajahan Jepang.
Ghost Net merupakan jaring-jaring (Gayo : Doran) yang tidak diambil oleh nelayan yang memasangnya. Doran ini kemudian menjadi hantu pembunuh bagi ikan-ikan Danau Lut Tawar. Ghost Net biasanya berada di kedalaman 5-12 meter lebih. Dengan kedalaman ini nelayan tidak dapat mengambil jaringnya dan dibiarkan begitu saja. Wajar bila populasi ikan di Danau Lut Tawar terus-menerus berkurang.
Selama ini banyak kalangan memvonis bahwa ini adalah akibat tingginya frekuensi penangkapan baik oleh nelayan maupun pemancing ikan. Vonis ini mungkin sebagian benar, akan tetapi ternyata kekejaman Ghost Net bukan cerita bohong lagi.
Dalam rekaman video milik Munawardi yang diserahkan kepada The Globe Journal, nampak Ghost Net. Ikan hidup menggelepar, ikan mati bahkan tulang belulang berbagai jenis ikan tersangkut di jaring-jaring tersebut. Bangkai dan tulang belulang ikan bawal, mujahir, depik, eyas, peres dan jenis ikan lainnya terjerat oleh jaring. “Saya geram sekali menyaksikan tontonan tersebut,” kata seorang anggota komunitas VisTaGa, sebuah komunitas masyarakat dataran tinggi Gayo peduli lingkungan, Amanshafa (41).
“Kita adalah salah satu suku bangsa yang bodoh, zhalim dan tak tahu bersyukur atas pemberian yang Maha Kuasa.” Lanjut Amanshafa. “Harta kebanggaan kita dibiarkan tak berurus layaknya tak bertuan. Kita hanya mampu mengeruk keuntungan dari Danau Lut Tawar.” Pungkas Amanshafa
Sepengetahuan Ardi, sampai saat ini Lut Tawar belum mempunyai peta batimetrik, sebuah peta yang menggambarkan kontur, kedalaman rata-rata, titik terdalam. Peta ini sangat berguna untuk data ilmiah. “Dengan peta tersebut dapat ketahui pola arus air danau Lut Tawar,” jelas Ardi.
Lebih lanjut Ardi merinci dengan peta batimetrik dapat ditentukan suatu tempat di danau difungsikan untuk kepentingan yang sesuai seperti penentuan zona budi daya, zona tangkap, zona konservasi atau reservart (kawasan reservasi alias tidak bisa diganggu). Sebagai contoh untuk kepentingan pelestarian ikan depik, zona reservatnya adalah didisen itu sendiri.
Menurut Ardi data kualitas air Lut Tawar belum ada yang up to date, sempat ada pernah diukur pada 1980. “Seharusnya data kualitas air harus berkala, minimal 6 bulan sekali, secara fisika, kimia dan biologi yang gunanya memantau tingkat kesuburan (eutrofikasi) danau” ujar Ardi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Unsyiah dan Pemda tahun 1990-an Danau Lut Tawar termasuk kelas eutrofikasi (terlalu subur) dengan indikator visibility (kecerahan) air yang makin berkurang karena banyaknya plankton, karena banyaknya makanan plankton berupa bahan organik yang disumbang oleh air limbah dari desa sekitar danau baik kotoran maupun sisa pupuk yang hanyut. Keadaan ini makin diperpuruk dengan sisa pakan akan keramba-keramba yang dibangun di danau. “sebaiknya air Lut Tawar segera kita teliti dan persoalan danau adalah masalah komplikasi” tegas Ardi.
Selanjutnya Ardy menjelaskan bahwa ikan Depik termasuk planktivor (pemakan Plankton) itu sebabnya depik tidak bisa dipancing, katanya. Depik tidak pernah sembunyi, pada masa musim depik berdasarkan kebiasaan ikan, di dedesen depik memijah telur (Depik Masir=Mumire). Depik bisa jadi berada di daerah Abisal (daerah tidak terjangkau matahari) 7 meter keatas. Ikan akan memijah bila suhu yang mereka inginkan tepat. Diduga suhu pada musim depik cocok dan sesuai di Dedesen.
“Untuk menjaga dan meningkatkan populasi depik diharapkan saat fase memijah ikan depik jangan di tangkap.” Pungkas Ardi.
10 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar