Khalisuddin The Globe Journal
Aceh Tengah - Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Medan dan dilanjutkan dengan eksplorasi pada 4 Juni -19 Juni 2007 di beberapa lokasi di Aceh Tengah dikeluarkan laporan penelitian hasil survey awal yang ditulis Nengsih Susilowati tahun 2007 silam bertajuk “Potensi Gua dan Ceruk di Kabupaten Aceh Tengah bagi Pengembangan Arkeologi dan Pariwisata” yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi (Balar) Medan. Disimpulkan perlu adanya lanjutan tahapan penelitian Arkeologi dalam bentuk kegiatan eksavasi atau penggalian terhadap tiga lokasi Ceruk dan Gua yang dinilai kemungkinan pernah didiami oleh manusia di Kabupaten Aceh Tengah yakni Ceruk Medale dan Loyang (gua) Peteri Pukes di Kecamatan Kebayakan dan Loyang Datu di Kecamatan Linge.
Sejak 6-11 Maret 2009, Tim Penelitian Arkeologi dari Balai Arkeologi (Balar) Medan mulai melakukan penggalian (ekskavasi) di Ceruk Mendale. Tim yang diketuai Ketut Wiradnyana dengan 12 orang anggota tim termasuk Kepala Balai Arkeologi Medan, Lucas Partanda Koestoro menemukan lapisan budaya di bawaah tanah yang didalamnya mengandung beberapa benda yang disebut ”sampah” peninggalan aktivitas manusia prasejarah berupa sisa arang pembakaran, tembikar (gerabah), tulang-belulang hewan dan manusia, cangkang mulosca (keong dan siput) dan yang paling mengejutkan berupa alat batu yang sering disebut ”gigi petir” dari bebatuan andesit.
The Globe Journal terus mengikuti proses penggalian dari awal dan diakhiri dengan wawancara khusus dengan seluruh anggota tim pada 11 Maret di Takengon terkait temuan-temuan benda bersejarah di lokasi eksavasi.
Menurut keterangan Lucas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan, proses ekskavasi kali ini merupakan bagian dari riset desain prasejarah dalam konteks nasional di wilayah kerja Balar Medan. Pada riset desain global tersebut diasumsikan bahwa di wilayah Aceh Tengah diduga pernah menjadi suatu kawasan yang sarat dengan aktivitas masa prasejarah khususnya dari masa mesolitik, neolitik hingga masa selanjutnya, artinya wilayah ini tentunya masih menyisakan tinggalan kehidupan masa lalu di suatu tempat dari masa ke masa. Asumsi ini didasarkan atas temuan berbagai tinggalan budaya dari sebaran situs bukit kerang yang situsnya tersebar dari Kabupaten Deli Serdang hingga ke Lhok Seumawe.
Lucas menyimpulkan bahwa Loyang Mendale, sudah jelas atau absolut merupakan situs prasejarah yang disebut dengan abris sousroche (rock shelter) atau ceruk perlindungan. ”Kegiatan Balar kali ini merupakan awal dari rangkaian kegiatan yang seharusnya dilakukan lebih intensif lagi. Dan kegiatan eksavasi kali ini merupakan hasil eksploratif tahun 2007 yang lalu,” papar Lucas. ”Manusia yang pernah hidup di Mendale merupakan satu kelompok atau keluarga yang tinggal sementara atau menetap. Danau Lut Tawar merupakan punya daya tarik bagi kelompok-kelompok manusia untuk menetap karena mereka perlu air bersih dan sumber makanan,” jelas Lucas
”Kepastian kronologi dan usia, diperlukan analisis carbon dating dan analisis Pollen diperlukan untuk menegtahui jenis tumbuhan yang hidup disekitar situs yang mungkin diantaranya merupakan bahan makanan atau tanaman yang diusahakan. Analisis carbon datin dilaukan di Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) di Serang dan analisa Pollen dilakukan di Bagian Arkeometri Pusat Penelitian dan pengembangan Arkeologi Nasional di Jakarta. Balar Medan belum memasukkan anggaran untuk analisis tersebut tahun 2009 dan 2010 karena biaya persampelnya dalam hitungan dolar diperlukan 7 sampai 10 juta. Sementara situs ini memerlukan paling tidak empat sampel yang harus dianalisis. Analisis bisa dilakukan bertahap tiap tahunnya,” kata Lucas yang juga seorang penyelam arkeologi paling senior di Indonesia.
Selanjutnya ditegaskan Lucas, dengan ditemukannya batu petir yang jelas-jelas merupakan buatan manusia dapat disimpulkan bahwa pernah ada kehidupan di Medale pada masa neolitik atau sekitar 3500 tahun yang lalu.
Ketua tim ekskavasi, Ketut Wiradnyana menyatakan dengan tegas bahwa Ceruk Mendale pernah dihuni oleh manusia dengan asumsi pada masa prasejarah dan masa pasca prasejarah. ”Temuan gerabah yang cukup halus menunjukkan indikasi kuat adanya kehidupan pasca prasejarah dengan lapisan budaya pada kedalaman sekitar 0,5 meter. Sedangkan untuk pra sejarah ditunjukkan dengan adanya lapisan budaya pada kedalaman sekitar 85 cm dibawah tanah, yang artefak dan ekofaknya menunjukkan adanya sisa aktivitas di Ceruk Mendale.” papar Ketut.
”Dengan ditemukannya kapak batu persegi yang sudah digosok halus di Ceruk Mendale dan Loyang Peteri Pukes membuktikan adanya budaya Neolitik.” jelas Ketut. Dikatakan, indikasi budaya yang lebih tua masih lemah karena hanya ditemukan dua buah artefak berbahan cangkang moluska dari famili arcticidae yang biasanya ditemukan pada situs-situs masa mesolitik di pesisir timur Pulau sumatera (Aceh Tamiang dan Aceh Timur).
Ketua Komunitas VisTaga, LSM lokal yang bergerak dibidang budaya, pariwisata dan lingkungan, Ir. Win Ruhdi Bathin menanyakan apakah manusia yang pernah menghuni Ceruk Mendale adalah nenek moyang orang Gayo, Ketut mengatakan bisa saja bahwa mereka adalah cikal bakal orang Gayo. tapi Ketut menyatakan tidak semudah itu dikatakan bahwa ”itulah orang Gayo”. ”Mengingat migrasi yang berlangsung ke tanah Aceh jelas dari dua budaya yang berbeda yaitu Hoabinhian dan Kapak Persegi dimana kedua kelompok budaya ini bermigrasi dalam masa yang berbeda. Migrasi dimaksud terjadi berulang kali pada masing-masing periode sehingga terjadi pembauran pada kelompok lama dan kelompok yang baru. Kemungkinan, itulah nenek moyang orang Gayo.” papar Ketut panjang lebar.
Menurut Ketut, sampai saat ini, temuan di Daerah Aliran Sungai Tamiang merupakan temuan tertua di Aceh yakni di masa mesolitik yang berumur 6080 tahun yang lalu dengan budaya Hoabinh berciri Sumateralith yaitu berupa benda sejarah kapak batu yang dibuat dari bahan kerakal dengan pangkasan diseluruh bidang sisinya dengan tajaman monofasial maupun bifasial. Sebagian daripadanya merupakan masih merupakan korteks atau kulit batu.
Menyangkut temuan kerangka manusia di Ceruk Mendale, Ketut menjelaskan bahwa kerangka ditemukan pada lapisan budaya yang jika dibandingkan dengan lapisan budaya dikotak gali yang lainnya menunjukkan satu level yaitu lapisan neolitik, artinya diasumsikan kerangka tersebut dari masa neolitik.
Selanjutnya, Lucas dengan sangat tegas menyatakan, dengan ditemukannya kebudayaan neolitik di Gayo, ke depan diperlukan adanya proposisi sejarah budaya Indonesia. Pernyataan ini ditimpali Ketut dengan menyatakan diperlukan lanjutan penelitian ini, perlu diadakan semacam perjalanan menelusuri sungai Peusangan, karena kemungkinan alur sungai tersebut merupakan alur masuk bagi manusia dari pesisir ke Aceh Tengah,” kata Ketut berharap.
Ketua Komunitas VisTaGa, Ir. Win Ruhdi Bathin yang dengan setia mengikuti prosesi ekskavasi sejak awal, mengutip keterangan Lucas mengatakan lokasi-lokasi ditemukannya tersebut harusnya segera dijadikan sebagai lokasi Benda Cagar Budaya atau BCB dengan sebuah Surat Keputusan dari Pemda agar lokasi tersebut menjadi tempat yang dilindungi undang-undang. ”Situs budaya merupakan aset mahal untuk sejarah dan pariwisata dan merupakan target utama bagi wisatawan, panorama merupakan bonus dalam kepariwisataan,” kata Win Ruhdi.[003]
17 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar