Senin, 9 Februari 2009 08:16
Win Ruhdi Bathin, Takengon
Dataran Tinggi Gayo adalah daerah potensial perkebunan dan pertanian, jenis hortikultura. Bahkan penjajah Belanda secara ilmiah telah meneliti dan mengembangkan potensial perkebunan ini, kemudian membagi wilayah pertanian tersebut sesuai kecocokan komoditinya.
Tidak heran, komoditas perkebunan seperti kopi, teh dan pinus merkusi menjadi komoditi unggulan Belanda. Sehingga negara Kincir Angin tersebut mendirikan pabrik pengolahan getah pinus di Lampahan, pabrik teh di Janarata Kecamatan Bandar serta pola perkebunan kopi dengan sistem perusahaan negara di Bergendal Simpang Teritit dan Burni Bius Kecamatan Silih Nara.
Belanda secara kontinyu mengelola potensi perkebunan ini dan mengirimnya keluar negeri (eksport) sebagai salah satu sumber pendapatan Pemerintahan Kerajaan Belanda di daerah jajahan. Selain komoditi perkebunan, juga lomoditi sayuran (hortikultura), seperti kentang.
Namun di era digital dunia moderen seperti sekarang ini, Pemerintah Daerah (Pemda), seperti kehilangan marwah dan arah pembangunan pertanian. Betapa tidak, jika Belanda di era tahun pra kemerdakaan saja sudah mengembangkan potensi perkebunan secara terarah dan terukur, hal yang sama tidak dilakukan Pemda guna mendapatkan potensi PAD.
Pemda seperti tidak mampu membaca potensi kopi dan komoditi lain yang dahulu sudah terbukti dijaman Belanda sebagai kekuatan ekonomi yang handal. Bahkan anehnya, hingga kini kopi sebagai andalan PAD belum memiliki kebun induk atau balai penelitian khusus kopi.
Kopi diharap sebagai penyumbang terbesar PAD tapi kopi juga ditelantarkan dan dianggap sepele dengan mengusahakannya secara sembarangan dan apa adanya. Padahal Kabupaten Aceh Tengah memiliki SDM yang terbilang hebat. Pejabat di Dataran Tinggi ini rata-rata tamatan Strata dua diberbagai bidang, termasuk Magister Managemen.. Dan kuliah mereka selama ini dibiayai APBD.
Lihatlah bagaimana informasi terkini, kopi gayo sudah didaftarkan Pengusaha Belanda menjadi paten mereka. Akibatnya, pengusaha gayo tidak boleh lagi memakai kata Kopi Gayo. Untuk menggugurkan paten ini, harus dilakukan upaya dengan satu-satunya cara yaitu ”Indikasi Geografis”.
Dr Surip Mawardi dari Pusat Penelitian Kopi Indonesia di Jember sudah memberi jalan indikasi geografis dan siap membantu. Namun apakah Pemda Aceh Tengah juga Bener Meriah, lewat pejabat terkait sudah serius menjalankan misi penyelamatan ini? Bila tidak, tampak sekali Pemda tidak serius. Hanya mampu berteori, berorasi dan berandai-andai tanpa tindakan kongkrit demi kemaslahatan rakyat pegunungan yang mengandalkan kopi sebagai satu-satunya sumber penghasilan terbesar mereka.
Pemda hanya mampu saat ini menyediakan benih kopi secara gratis yang ”katanya” mencapai jutaan polibag. Tapi apakah sudah diikuti pemahaman kepada petani tentang budidaya, panen, paska panen hingga distribusi?, tampaknya belum meski posisi bupati sebagai kepala daerah silih berganti setiap lima tahun.
Bila pemberian bibit tidak diikuti petunjuk ilmiah bertani kopi secara modern, tampak sekali peran dinas terkait seperti perkebunan termasuk penyuluhnya belum berjalan sesuai harapan dan menjadikan petani rakyat bertani secara moderen dengan produksi perhektarnya tidak stagnan seperti selama ini.
Indikasi belum berperannya Pemda dalam pengelolaan kopi rakyat dengan mudah dapat dilihat. Ambil saja salah satu parameternya produksi kopi perhektar/tahun. Produksi kopi rakyat di Aceh Tengah saat ini berdasarkan data hanya 600-700 kilogram/hektar / tahun dan hal ini sudah berlangsung lama.
Jika dahulu alasan rendahnya produksi kopi karena konplik dimana banyak kopi ditinggalkan dan ditelantarkan, kini alasan itu tentu tidak lagi bisa diterima. Setiap tahun, tidak kurang dari Rp.400 milyar APBK ditambah dana Otsus belum mengarah pada bagaimana perekonomian kopi rakyat bisa menjadi komoditi yang secara signifikan erus meningkat dan mampu mensejahterakan petani.
Bahkan petani masih menjadi komoditi atau sapi perahan banyak pihak. Petani kopi Gayo menjadi sumber komoditas politik, ekploitasi ekonomi para pengusaha kopi termasuk eksportir kopi dari gayo.
Hebatnya lagi, eksportir kopi ke luar negeri memanfaat kalimat sakti kopi organik menjadi ladang mencari keuntungan berllimpah. Sementara nasib petani begitu-begitu saja. Fee kopi organik, belum meyakinkan petani jumlahnya setiap tahun dan hanya dianggap menguntukan kolektor.
Hingga kini, belum ada institusi atau badan swasta yang benar-benar membela kepentingan petani, kecuali hanya mengekploitasinya saja. Sekarang, menghadapi isu dunia tentang globalisasi dan perubahan iklim dunia yang ekstrim dan merusak, Gubernur Aceh coba menjual isu penyelamatan hutan Aceh dengan moratorium logging (jeda penebangan hutan) dan mendapat kompensasi dari tidak menebang hutan dari masyarakat dunia.
Gubernur juga mengandalkan kopi sebagai komoditi Aceh yang dibanggakan di luar negeri.Meski seungguhnya kopi masih belum diusahakan secara profesional seperti yang dilakukan penjajah Belanda dahulu. Demikian halnya kayu yang terus ditebang dengan melibatkan banyak pihak yang terlibat dalam jaringan terlarang alias mafia.
Pemda Aceh Tengah sepertinya kehilangan arah dan jati diri dalam membangun daerahnya sehingga APBKnya yang ratusan milyar masih dipakai secara ekslusif untuk pejabat dan kalangan DPRK, untuk pembangunan fisik, pembelian alat dan barang , perjalanan dinas, mobil mewah pejabat dan sejumlah kepentingan kalangan elit kabupaten.
Untuk rakyat? Cobalah lihat dan tanya pada mereka. Apakah yang mereka sudah dapat dari APBK Aceh Tengah selama ini.(*)
12 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar