12 September 2008

Objek Wisata Wih Ni Kulus butuh Lahan Parkir

Pintu Rime Gayo adalah sebuah Kecamatan yang menjadi Pintu Gerbang memasuki wilayah Tanoh Gayo, berada di daerah dataran tinggi yang dikenal sebagai dataran tinggi Gayo. Hawa daerahnya dinggin dan sejuk hingga menjadi daya tarik tersendiri sebagai daerah kunjungan wisata.

Menyambut kemeriahan Idhul Fitri, Tahun Baru 2009, dan Idhul Adha, sejumlah lokasi objek wisata alam di Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, mulai mempersiapkan sarana dan prasarana. Berdasarkan pengalaman di setiap akhir tahun lonjakan pengunjung di sejumlah lokasi wisata alam Pintu Rimba Gayo meningkat. Peningkatan itu juga berdampak pada jumlah kendaran parkir di lokasi-lokasi wisata.

Saat kemeriahan hari-hari besar Islam dan Tahun Baru, sumber pendapatan masyarakat di sekitar objek wisata selain berjualan juga dari hasil lahan parkir. Untuk saat ini di daerah Pintu Rime Gayo objek wisata yang paling banyak di banjiri pengunjung di setiap akhir tahunnya adalah objek wisata Wih Ni Kulus atau disebut dengan wisata Arul Kulus, Desa Blangrakal, Kilometer 45, jalan Bireuen-Takengon.

Secara langsung Arul Kulus telah membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. Pada saat hari-hari besar itu ribuan orang membanjiri lokasi wisata ini. Sumber pendapatan masyarakat juga turut hidup dengan adanya objek wisata selain berjuala juga membuka lahan parkir. Beberapa pemuda Desa Blangrakal dan masyarakat korban konflik di Pintu Rime Gayo bekerja di objek wisata Wih Ni Kulus.

Pengelola objek wisata telah melakukan beberapa penataan di dalam lokasi sebagai persiapan kunjungan wisata akhir tahun. Dengan keterbatasan dana lokasi wisata belum dapat dikembangkan secara propesional. Pembersihan lahan yang selama ini dilakukan masih suwadaya dan gotong-royong dengan masyarakat sekitar.

Dalam rangka menyambut lonjakan pengunjung pada hari-hari besar ini, Arul Kulus selalu bermasalah dengan lahan parkir kendaraan roda dua dan roda empat. Lonjakan pengunjung yang terjadi tidak mampu menampung jumlah kendaraan yang masuk ke lokasi wisata sehingga pengunjung dari daerah-daerah luar enggan singgah di Arul Kulus.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah dalam penyempurnaan lokasi Arul Kulus adalah pelebaran badan jalan raya Bireuen-Takengin yang melintasi di kawasan itu. Selain itu pembangunan lahan parkir yang memadai perlu diciptakan selain pagar pengaman jalan.. Ini dilakukan sebagai langkah awal daerah dalam mendukung kunjungan wisata, Visit Tanoh Gayo.

Objek wisata Weh Ni Kulus memiliki potensi alam yang dapat dijadikan unggulan. Bila dikelola secara baik, Arul Kulus yang merupakan ‘panorama sungai di dasar lembah’ dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang lumayan baik untuk Kabupaten Bener Meriah. (Idrus Saputra)

10 September 2008

MASYARAKAT LINGE TUNTUT GANTI RUGI RUGI


Masyarakat 5 kampung yakni Kampung Linge, Pertik, Delung Sekinel, Reje Payung dan Kampung Jamat di Kecamatan Linge menyesalkan sikap para penentu kebijakan di wilayah ini terkait kasus penyimpangan bantuan kambing bantuan BRR beberapa waktu lalu di kelima kampung tersebut.

Dalam pemberitaan beberapa harian dan tabloid beberapa waktu yang lalu, Forum Aliansi Peduli Linge diberitakan menemukan indikasi berbagai penyimpangan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Produktif di Lima Kampung di Kecamatan Linge, Aceh Tengah. Lembaga tersebut menemukan, penyimpangan bantuan dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias senilai Rp.1.5 miliar. Bantuan tersebut dikelola LSM Perantar dan kambing-kambing tersebut serta kambing setempat mendadak mati secara missal. Dinas terkait di Aceh sontak seperti kebakaran jenggot, dan pada pertengahan Mei lalu diturunkan tim dari Dinas Peternakan Provinsi NAD didampingi Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Tengah turun ke Lima Kampung terpencil tersebut untuk memastikan penyebab kematian secara massal kambing-kambing bantuan tersebut yang diikuti dengan kematian ribuan kambing setempat. Setelah mendiagnosa penyakit, tim inipun mengeluarkan statemen bahwa “Kematian Kambing BRR Bukan Wabah”. Hamdani seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Takengon (STIHMAT) yang dikenal sangat peduli dengan urusan kepentingan masyarakat bawah, beberapa hari yang lalu berkunjung kelima kampung tersebut dan sangat menyayangkan tidak ditindaklanjutinya kasus besar tersebut oleh pihak terkait. “bagaimana ini, mengundurkan diri seorang Bupati, pada ribut semua, tapi saat rakyat miskin tertindas, semua diam seolah tak tau apa-apa”, cetus Hamdani kesal.

Kambing-kambing bantuan BRR NAD Nias diperuntukkan bagi lima kampung melalui lima koperasi di Kecamatan Linge yakni Kampung Linge, Pertik, Delung Sekinel, Reje Payung dan Kampung Jamat Kecamatan Linge. Proyek pemberdayaan masyarakat miskin itu bersumber dana BRR NAD Nias dari DIPA tahun anggaran 2007 sebesar Rp 1,5 miliar.

Bukan hanya kambing bantuan yang ludes, kambing setempat juga habis, rata-rata 400an ekor mati perkampung dan diperkirakan tidak kurang dari duaribuan ekor kambing setempat habis. Bila harga kambing saat ini mencapai 1 juta Rupiah, maka total kerugian masyarakat miskin mencapai 2 milyar, ungkap Hamdani. “mana tanggung jawab stakeholdernya ?” Tanya Hamdani.

Seorang tokoh masyarakat kawasan tersebut, M. Rum menyatakan ancaman akan lapor ke pihak berwajib bila sampai habis Ramadhan ini persoalan belum selesai. “kami tidak harap lagi bantuan tersebut, tapi ternak kami yang mati akibat tertular itu bagaimana ?” tanyanya didampingi Hamdani dan sejumlah tokoh masyarakat kelima kampung tersebut.

Kepala Kampung Jamat, Jamaluddin juga menyatakan kekecewaannya terhadap Program Bantuan BRR tersebut ke wilayahnya. Bukan untung yang kami dapat tapi malah buntung, ungkap Jamaluddin.

Selanjutnya Hamdani menambahkan, “Kalau begini Program Swasembada Daging 2010 jadi tidak jelas dan halau kemiskinan malah kabur di Aceh Tengah. Karena kawasan ini merupakan Kawasan Ternak sejak dahulu dan paling marjinal di Aceh Tengah”.

Ikhwanussufa, selaku Kepala Satker Agama Sosial Budaya BRR NAD Nias Regional III dalam pernyataannya di Media Massa pertengahan Mei lalu telah menyebutkan bahwa proyek bantuan kambing di Kecamatan Linge, analisis CPCL tidak pernah dilakukan., Ikhwanussufa mengatakan, bila LSM Perantar telah membuat kesalahan besar, LSM yang ditunjuk sebagai pendamping malah bertindak sebagai pelaksana. LSM Perantar membeli kambing kambing itu dan diserahkan kepada warga, padahal, dalam juklaknya, tidak berniat baik untuk memperbaiki kinerjanya sebagai tenaga pendamping, maka LSM Perantar harus menyetor sejumlah kerugian kepada kas negara. Bahkan Ikhwanussufa menegaskan “Kami akan meneruskan kasus kamatian kambing kambing bantuan itu untuk diproses hukum,” ujarnya. Tapi kenyataannya hingga saat ini belum proses apapun baik proses hokum maupun proses ganti rugi bagi masyarakat.
Anehnya, Ketua LSM Perantar, Dwi Putra seperti pernyataannya yang dikutif dari sebuah tabloid menyatakan semua tudingan-tudingan yang diarahkan kepadanya tidak benar. “masalah kambing mati, itu tanggung jawab Koperasi sendiri, mereka sendiri yang belanja” ungkapnya.
Selanjutnya Hamdani mengungkapkan keheranannya, kenapa tokoh-tokoh masyarakat di Aceh Tengah tidak ada yang peduli, seperti anggota dewan misalnya. “caleg-caleg ndak usah kampanye kesana, toh saat mereka butuh pembelaan ndak ada yang peduli” ketus Hamdani prihatin.